“Oh, bukan pak. Saya bukan siapa-siapanya beliau.”
“Ada perlu sama Pak Bejo mungkin?”
“Oh, engga pak, saya tadi anu, ini uang, eh, pin bross saya tadi jatuh dekat-dekat sini. Jadi saya cari-cariin. Udah masuk parit mungkin ya. Aduh, padahal saya sayang banget sama bross itu.” Aku menatap matanya mencoba meyakinkannya dengan penjelasan yang aneh tadi.
“Wah, sayang banget ya,” katanya penuh ketulusan. “Nanti kalau saya ketemu saya simpenin deh. Semoga ga bener-bener ilang ya,” lanjutnya.
“Wah, makasih ya pak. Saya permisi dulu,” pungkasku.
Aku berlalu dengan cepat dari hadapannya. Seketika itu juga aku merasakan kembali ketegangan yang sama, yang menyiksaku semalam. Sambil berjalan aku menoleh sekali kearah bapak dengan anjing Spaniel coklatnya tadi, mereka masih berdiri di sana, menatapku dengan penuh tanya. Aku berjalan lebih cepat, mengejar belokan yang tinggal beberapa meter di depanku. Aku tak tahan diperhatikan dari belakang seperti ini. Rasanya seperti ribuan belati menancap pada punggungku.
“Sial, kenapa begitu sulit sih bertemu dia lagi,” umpatku pelan.
Aku memacu langkahku menuju belokan yang tinggal lima meter lagi dihadapanku. Setelah belokan ini aku bisa menjadi diriku kembali, bukan orang aneh yang baru saja kulakoni beberapa menit dibelakang. Sebelum berbelok, aku menoleh kebelakang untuk terakhir kalinya. Si bapak dan anjingnya sudah tidak ada. Aku bernafas lega karena kini aku benar-benar bisa menjadi diriku kembali.
Ternyata namanya Bejo, aku membatin. “Tidak terlalu buruk,” gumamku pelan. Aku tersenyum, entah mengapa. Rasanya begitu aneh, seperti ada kupu-kupu di dalam perutku; senang namun juga gelisah. Ah, setidaknya kini aku selangkah lebih dekat dengan mengetahui namanya. Aku tersenyum kembali, merasa puas dengan apa yang berhasil kulakukan hari ini. Seorang nenek yang berpapasan denganku terlihat takut melihatku tersenyum sendiri. Ah, aku tak perduli. Aku tidak pernah ambil pusing dengan apa yang ada disekitarku ketika aku berjalan. Sebentar lagi mereka semua akan menghilang. Sebentar lagi hanya akan ada aku dan duniaku.
Kita selalu bertemu dengan tiba-tiba, begitu cepat sehingga kita tak bisa menghindarinya. Takkan ada yang bisa memilih dengan siapa, atau kapan jalan kita akan bersimpangan dengan orang-orang masa depan kita. Semuanya terjadi serba tiba-tiba, serba mengejutkan. Kita tak akan pernah siap, tapi begitulah sebuah pertemuan, dan begitulah seharusnya kita menerimanya.
Pertemuan bukanlah sesuatu yang dapat dipilih. Dia tidak membiarkan kita memilih karena dia tahu, kita tidak akan mampu membuat pilihan untuk memulai. Kita hanya manusia yang tak pernah bisa benar-benar yakin akan apapun. Memulai mungkin terlalu berat sehingga bagian kita hanya menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Dan mungkin, begitulah cara Tuhan mengasihani kita.