Mohon tunggu...
Sylvania Hutagalung
Sylvania Hutagalung Mohon Tunggu...

Saya orang yang berfikir sederhana. Tertarik dengan arsitektur, sejarah, cerpen, dan puisi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Moonlight Sonata

12 Februari 2011   14:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:40 2827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Itu karena dia sadar kalau kebahagiaan tidak pernah berlangsung lama. Good things never last,” dia menjelaskan singkat lalu menatapku dingin. Aku merasakan suasana yang aneh yang menyergap kami tiba-tiba. Kemudian dia tersenyum cepat, “Duh, kamu emang cengeng ya anaknya. Gitu aja pake mau nangis.”

“Yee, siapa juga yang mau nangis,” aku menangkis cepat.

“Udah, engga usah pake malu. Cengen itu normal kok bagi cewe,” dia tertawa kembali melihat wajahku yang memerah malu.

“Dan terakhir, bagian ketiga atau yang disebut juga Presto Agitato, merupakan bagian penutup yang penuh kemarahan. Banyak yang bilang bahwa Presto Agitato ini merupakan ekspresi kemarahan si Beethoven pada aturan sosial kala itu yang menghalangi cintanya pada wanita pujaannya. Bagian ini durasinya paling panjang kalau dibanding dua bagian pertama. Mungkin karena naturnya si Beethoven yang tempramental, jadi bagian marah-marahnya dipanjangin sama dia,” dia tertawa geli sambil mengakhiri penjelasannya.

“Aneh ya, mendengar penjelasan Bapak membuat saya melihat simfoni ini tidak lagi sebatas music yang enak ditelinga, tapi juga seperti puisi yang mempunyai arti yang dalam.”

“Karenanya, tidak ada yang terlalu mahal untuk sebuah seni,” dia tersenyum penuh makna padaku. “So, jadi engga nonton konser Pak Bejo?”

“Waduh, kalau yang itu masih harus fikir-fikir Pak. Duitnya tetep ga kuat,” kami berdua lalu terbahak.

Dia menggeser badannya hingga menghadap piano. Dia menghela nafas pelan lalu mulai memainkan Moonlight Sonata kembali dari awal. Dalam sekejap ruang kerjanya kembali seperti negeri dongeng dengan ribuan mahluk khayalan, hasil perkawinan imajinasi kami dengan lantunan musik yang menari dalam udara yang kami hirup. Mungkin bagi sebagian orang kemampuan teknis seorang pianis adalah sebuah ukuran kesempurnaan sebuah karya. Tidak bisa dibilang salah juga, hanya saja aku bukan pianis dan aku tak tahu banyak tentang teknik bermain piano yang baik. Bagiku, kemampuan seorang pianis dalam mengintepretasikan lagu adalah yang paling penting. Layaknya sebuah puisi, seorang pianis harus mampu menerjemahkan tiap kata hingga titik-koma kedalam intonasi yang tepat sehingga jiwa dari puisi tersebut tersampaikan dengan baik. Sebuah lagu seharusnya terdengar mengalir, terdengar bernyanyi; ringan dan bebas layaknya bernafas. Jiwa keindahan yang merdeka, tak terkekang bahasa lidah manusia.

“Kita selalu bertemu secara tiba-tiba,” dia berkata sembari memainkan bagian akhir dari Adagio Sustenuto, “begitu cepat sehingga kita tak sempat menghindarinya. Takkan ada yang bisa memilih dengan siapa, atau kapan jalan kita akan bersimpangan dengan orang-orang masa depan kita. Semuanya terjadi serba tiba-tiba, serba mengejutkan. Kita tak akan pernah siap, tapi begitulah sebuah pertemuan, dan begitulah seharusnya kita menerimanya.” Dia menutup matanya ketika memainkan lima bar terakhir dari bagian pertama Moonlight Sonata. “Pertemuan adalah sebuah awalan. Tempat dimana banyak pertanyaan akan hari depan lahir. Senang, sedih, duka, dan suka hanyalah perasaan yang mentah. Hanya ramalan yang menunggu kenyataan datang menghampirinya.” Lalu dia mengakhiri bagian pertama. Kami berdua terdiam beberapa saat.

“Kebahagiaan seperti angin,” dia melanjutkan memainkan bagian kedua dari Moonlight Sonata, “Tak ada yang tahu pangkal dan ujung angin. Tak ada yang tahu kemana dia datang dan menuju. Angin, yang tak pernah berwujud namun sanggup mebuat dedaunan bernyanyi.” Dia menggoyangkan kepalanya keatas dan kebawah mengikuti irama Allegretto yang lincah. “Tapi angin tak pernah menetap. Dia tak pernah kembali ketika pergi. Kebahagiaan itu seperti angin, walau sempat ada, namun tak pernah lama. Kebahagiaan hanya sisipan yang singkat.” Seiring kalimat terakhirnya, dia menamatkan permainan bagian keduanya.

Aku begitu terhanyut dengan permainan piano dan penjelasan yang begitu puitis dari bapak ini sampai aku merasa seperti berhenti bernafas. Dia masih diam, sementara aku mulai pulih dari kekagumanku. Aku melihat ada ekspresi begitu terluka yang perlahan muncul diwajahnya. Aku hendak bertanya ‘ada apa’, ketika tiba-tiba dia menghentak dengan bagian awal dari Presto Agitato. Aku terkejut sekaligus kagum dengan cara dia mempresentasikan tiap bagian dari simfoni ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun