God forbids, aku ingin bertemu dengannya lagi!
***
Aku mengusap mataku yang terasa perih. Semalaman aku tak bisa tidur. Pertemuan dengan pemilik rumah nomor enam itu membuatku merasakan sesuatu yang beda, sesuatu yang mencegahku tidur atau mengerjakan yang lainnnya. Alam bawah sadarku seakan tak rela membiarkanku melupakannya.
Aku melirik jam meja disebelah tempat tidurku, baru pukul setengah lima pagi. Terlalu pagi untuk bangun, namun terlalu terlambat untuk tidur. “Argh,” teriakku gusar, entah kepada siapa. Lalu aku bangkit untuk bersiap-siap.
Pukul enam limabelas, begitulah yang terbaca pada jam dindingku sesaat sebelum aku meninggalkan rumah. Pagi ini aku sengaja berangkat lebih awal. Aku ingin melihat wajah sipemilik rumah nomor enam dengan lebih jelas. Aku berharap dia sudah bangun dan sedang beraktifitas di sekitar perkarangannya. Dari permainan pianonya semalam aku yakin kalau dia seorang musisi, atau mungkin seorang guru piano. Aku berharap dia bukan pekerja kantoran yang selalu sibuk dipagi hari. Aku benar-benar ingin bertemu dengannya lagi. Atau kalau ada kesempatan baik, aku ingin sekali berkenalan dengan cara yang lebih menyenangkan.
Aku sengaja berjalan lebih pelan pagi ini. Dan begitu sampai di depan rumah nomor enam itu aku berhenti dan menunggu keberanian menghampiriku sekali lagi. Aku mematung cukup lama sampai tiba-tiba ada suara yang menyapaku dari samping. Seorang bapak dengan anjing Spaniel coklatnya ternyata sudah dari tadi berdiri disampingku.
“Cari siapa, dik,” tanyanya.
“Oh, maaf pak, sebenarnya saya…. Uhm, anu, itu, maksud saya, saya juga bingung ngejelasinnya pak, hehe,” aku tertawa aneh untuk menutupi keterkejutanku.
“Adik saudaranya Pak Bejo, ya?”
“Pak Bejo? Maksudnya?”
“Iya, yang punya rumah ini.”