Soren Kierkegaard membagi eksistensi manusia menjadi 3 tahapan, dimana tahapan-tahapan tersebut akan menentukan apa yang menjadi perhatian manusia dan apa mempengaruhi eksistensi manusia.
Yang pertama adalah tahap estetis. Pada tahap ini perhatian manusia terfokus pada segala hal yang berada di luar hidupnya dan mengarah pada hal duniawi, seperti keinginan untuk memenuhi kenikmatan jasmani dan rohani. Keinginan-keinginan tersebut hanya terpaku pada pengalaman emosi dan nafsu.Â
Dengan dorongan emosi dan nafsu tersebut, kesenangan yang dicapai dianggap tidak terbatas. Tapi, pada akhirnya akan sampai pada kesadaran bahwa keadaan tersebut terbatas, sehingga manusia akan sampai kepada keputusasaan.
Manusia akan cenderung menghindar dari keputusan-keputusan yang mendatangi dirinya, sehingga dapat dikatakan batinnya kosong. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia yang berada di tahapan ini membuat manusia tidak akan dapat menemukan sesuatu yang bisa meniadakan keputusasaan.
Meskipun begitu, manusia tetap harus memilih untuk keluar dari keputusasaan tersebut dengan cara pindah ke tahap eksistensi berikutnya yang lebih menuju pada sikap selektif.Â
Manusia harus mampu menempatkan diri di antara pilihan-pilihan karena manusia selalu dihadapkan dengan pilihan yang berkaitan dengan hal baik dan buruk. Pada tahap estetis ini, tidak ditemukan nilai-nilai moral yang ditetapkan dan juga nilai-nilai keagamaan.
Yang kedua adalah tahap etis. Pada tahap ini, yang menjadi fokus manusia adalah batinnya. Manusia akan hidup berdasarkan hal-hal yang nyata atau kongkrit adanya.Â
Perpindahan dari tahap estetis menuju ke tahap etis yang dikemukakan oleh Soren Kierkegaard telah menggambarkan manusia yang telah meninggalkan nafsu atau hal-hal duniawi dan mulai masuk ke bentuk kewajiban.Â
Manusia akan terus dihadapkan pada berbagai macam pilihan, tapi dalam tahap ini manusia telah menyadari dan memahami tentang adanya acuan nilai yang bersifat umum.Â
Dengan demikian manusia mampu memilah segala sesuatu yang baik atau buruk dan kemudian dalam waktu bersamaan manusia mampu menempatkan dirinya di antara pilihannya.Â
Dalam mengambil keputusan, manusia harus memiliki pendirian yang kuat dan tegas agar manusia bisa menjalani eksistensi yang berarti atau bermakna. Meskipun manusia bebas menentukan apa yang menjadi pilihannya, manusia tidak terlepas dari tanggung jawab atas pilihannya.Â