Mohon tunggu...
R.A. Vita Astuti
R.A. Vita Astuti Mohon Tunggu... Dosen - IG @v4vita | @ravita.nat | @svasti.lakshmi

Edukator dan penulis #uajy

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Bukan Teman Biasa

18 Juni 2023   18:46 Diperbarui: 18 Juni 2023   19:00 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Artur Kornakov on Unsplash.com 

Pertaruhan Kimaya

Adian memperpanjang tinggalnya di Bali. Tadinya hanya sebulan untuk mengerjakan proyek bersama timnya. Saat ini semua sudah balik ke Jogja, tapi dia tetap tinggal. Untuk Kimaya.

"Kamu kan masih libur, Kim? Jangan bilang mau sibuk kuliah, ya? Kita kan sama kalender akademiknya," kata Adian untuk kesekian kalinya ketika Kimaya menolak bertemu dengannya. 

Baca juga: Pertaruhan Kimaya

"Kamu nggak bosan sama aku, apa?" kata Kimaya ketus. Dia ingin sendiri. Ingin menangisi rasa bersalahnya kepada keluarga Yuda. Ingin bicara pada Yuda yang sudah ada di surga sana, dalam kesunyian. Tapi Adian, teman lama, rivalnya di SMA, masih saja mengusiknya untuk bertemu.

"Baru tiga kali aku ketemu kamu, merasakan saja enggak, bagaimana bisa bosan. Ayo, usaha bikin aku bosan dong, Kim!" Adian gemas. 


Mona berdehem di samping Kimaya yang membiarkan pembicaraannya via telpon dengan Adian memakai speaker. Adian cakep, enak dipandang, tapi Kimaya tidak mau bertemu. Mona merasa rugi tidak bisa menikmati Adian. Akhirnya Kimaya menutup telponnya.

Baca juga: Membantu Kimaya

"Kenapa sih, Kim? Adian kan cowok baik? Kamu sendiri tidak pernah cerita tentang Adian ke aku, berarti dia tidak ada masalah, kan?" selidik Mona.

"Tidak cerita karena dia tidak penting. Sudahlah, Mon, aku tahu kamu naksir dia. Kamu aja yang nelpon dan ajak ketemuan. Pakai aku jadi alasan juga boleh, tapi aku nggak akan pernah ketemu," Kimaya lalu bergegas masuk ke kamarnya karena dia segera ingin menghibur dirinya sendiri.

Baca juga: Mencari Kim

Detik ini Kimaya merasa malu dan jijik pada dirinya sendiri. Karena Yuda. Karena dia yang membuat Yuda tiada. Itu sudah lebih tiga tahun yang lalu, bahkan peringatan seribu hari Yuda meninggal sudah berlalu lama. Tapi ketika ke Jogja bulan lalu itu adalah pertama kalinya dia berhadapan dengan Tante Nuk, ibu Yuda, yang ternyata menyalahkan dia atas perginya Yuda.

Tidak terasa Kimaya menangis cukup keras sehingga Mona mengetuk pintunya, bahkan sampai akhirnya menggedor karena tidak biasanya pintu kamar itu dikunci.

"Kim, ada apa? Buka pintunya, dong. Jangan dirasakan semua sendiri, Kim," Mona panik karena dia tahu, setelah balik dari Jogja Kimaya berubah. Terlalu sedih. Terlalu pendiam.

"Ada apa?" suara berat Adian sudah ada di belakang Mona. "Maaf, aku masuk karena pintu depan terbuka dan aku mendengar kamu panik. Kimaya di dalam?"

Mona hanya sanggup mengangguk. Tubuhnya merosot ke sofa dekat situ.

"Kim, ini Adian. Aku bawa makanan kesukaan kamu. Nasi padang dengan rendang, tidak terlalu pedas, dijamin," Adian berusaha berkata selembut tapi sekeras mungkin biar sampai di telinga Kimaya.

Tidak dinyana pintu kamar Kimaya terbuka perlahan. Mona melongo melihat rambut sahabatnya awut-awutan seperti tidak disisir setahun. Air matanya membasahi seluruh muka sehingga maskara yang non permanen itu luntur di sekitar mata, bahkan mengalir membentuk garis hitam di salah satu pipinya.

Tanpa bicara apapun, Kimaya melalui Adian yang berdiri di samping pintu, menuju ke kamar mandi. 

"Kamu duduk di situ saja, Adian," kata Mona yang sedikit terhibur dengan keberadaan Adian, yang hari ini luar biasa aura ketampanannya. Dia hanya memakai baju tipis berwarna biru pastel dengan celana jeans biru gelap. Sesimpel itu untuk menegaskan maskulinitas yang sejak hari pertama bertemu sudah dilihat dengan jelas oleh Mona.

"Kimaya kenapa?" mata Adian masih menatap ke arah kamar mandi di mana Kimaya menghilang.

"Kamu suka sama dia?" Mona sudah tidak tahan lagi untuk bertanya. Jawaban ini penting untuk dia dan Kimaya. 

"Tidak. Aku hanya ingin bersama Kimaya, seperti dulu, bersahabat," kata Adian dengan muka dan suara datar.

Seingat Mona, Kimaya tidak menganggap Adian sahabat, tapi pesaing di SMA dalam hal apapun. Bahkan ceritanya Kimaya sempat hilang duit sejuta hadiah kejuaraan karena Adian. Betapa gemasnya Mona waktu mendengar cerita itu karena Kimaya bukan berasal dari keluarga kaya.

Walaupun jawaban Adian demikian, Mona sudah kehilangan harapan untuk mendapat perhatian dari cowok itu. Kimaya prioritasnya dan dia melihat Adian juga menempatkan Kimaya paling penting di hidupnya. Mana yang lebih penting, sahabat atau kekasih? Selama Mona hidup, jawaban sempurna adalah sahabat. Okelah kalau begitu, pikir Mona, kita bertiga bersahabat.

Kimaya keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang lebih lumayan. Bajunya sedikit basah. Mungkin karena dia tadi mencuci mukanya karena make up yang belepotan.

"Makan yuk," kata Adian seakan tidak ada apa-apa. Mona mulai mengenali gaya hubungan kedua manusia aneh itu.

Kimaya menuju ke dapur kecil mereka, mengambil piring dan alat makan, sejumlah tiga. "Mona kamu belikan juga, kan?" tanyanya kepada Adian tanpa melihat ke arah cowok itu.

"Untungnya," kata Adian sambil mengedipkan mata ke Mona. Cewek itu kehilangan sedetak jantungnya. Sabar Mona, dia buat Kimaya.

Bertiga makan, kembali dengan suasana 'tidak ada apa-apa sebelumnya'. Mona akhirnya terbiasa dengan pembiacaraan Adian dan Kimaya yang kesana kemari.

"Kim, antar aku ke cafe tempat temanku dong, aku tidak paham denahnya," sahut Adian setelah mereka bertiga berebut mencuci piring yang akhirnya Mona menang - mendapatkan kesempatan mencuci piring semuanya - yang akhirnya disesali oleh Mona karena dengan demikian ada kesempatan Kimaya pergi dengan Adian.

Adian menyewa mobil jeep tua yang mesinnya masih halus. Dia sibuk mengatur google maps di handphonenya ketika mendengar Kimaya terisak.

"Kenapa kamu, Kim?" Adian cukup bingung dengan perilaku Kimaya yang sangat berbeda dibandingkan ketika SMA. Tapi semakin membuatnya penasaran. Kimaya penuh misteri sejak dia kenal dengannya.

"Sudah, jalan saja," isak Kimaya mereda tapi dia membuang muka ke arah luar jendela mobil, dan selalu diam tanpa kata ketika Adian bertanya arah jalan. Hanya tangannya yang menunjuk kanan kiri.

Akhirnya mereka sampai di cafe teman Adian. Tiba-tiba tangis Kimaya meledak, sedetik setelah dia keluar dari mobil.

Adian berlari mendapatkan Kimaya yang terlihat lemas dan hampir terjatuh, tidak kuat berdiri.

"Kim, katakan ada apa? Kamu sudah makan banyak tadi, tidak mungkin karena kamu lapar," Adian masih mencoba bercanda. Karena dia sudah tidak tahu lagi kata apa yang tepat untuk sahabatnya ini.

"Mau kamu apa, Adian? Kenapa kamu naik mobil itu? Kenapa kamu ajak aku ke sini? Kamu apanya Yuda?" tangis Kimaya pecah lagi dan seketika badannya merosot bersandar pada sisi mobil. Adian sudah tidak sempat menahannya lagi karena terkejut dengan nama Yuda terucap dengan lancar dari mulut Kimaya.

Dipapahnya Kimaya ke sofa terdekat, teh hangat tanpa gula langsung dia pesan, sesuai kebiasaan Kimaya dulu di kantin SMA. Kimaya masih bercucuran air mata tapi menurut pada Adian yang mengajaknya masuk ke cafe.

"Siapa Yuda?" Adian ingin berhati-hati tapi pertanyaan itu penting. Harus dia dengar sendiri dari Kimaya, dia harus cerita versinya sendiri.

Setelah minum teh seteguk karena dipaksa Adian, Kimaya terlihat tenang. Dia menoleh ke arah jeep yang ada di sisi luar meja tersebut.

"Itu CJ-7, kan?" tanya Kimaya tanpa melepaskan tatapannya dari mobil tersebut. Didengarnya suara berat Adian mengatakan iya. Lanjutnya, "Itu mobil favorit Yuda."

Adian melihat buliran berkilat mengalir di pipi Kimaya. Cewek itu menangis tanpa suara.

Setelah itu Kimaya terisak sedikit dan menoleh ke arah dalam cafe, air mata mengucur. "Ini tempat favorit Yuda kalau di Bali." Lalu Kimaya terisak lagi. Wajahnya dia taruh di pangkuannya sendiri. Dia terlihat ingin sedih tanpa membiarkan Adian menolongnya.

"Maaf, Kim. Yuda itu siapa?" Adian masih berlagak tidak tahu.

"Sahabatku yang sudah nggak ada! Mati tenggelam di sini, di Bali!" Kimaya mendongakkan wajahnya dengan teriakan yang cukup terlihat marah. Adian mengangguk dengan dua kalimat informatif itu.

"Boleh aku jadi sahabatmu, menggantikan Yuda?" kata Adian pelan.

Tidak disangka Kimaya menggeleng keras. "Salahku Yuda pergi, Di. Aku tidak pantas senang! Aku nggak boleh bahagia! Aku bikin semua menderita! Yuda belum pernah merasakan SMA gara-gara aku! Tante Nuk! Keluarganya ..."

Dan Kimaya masih saja berteriak menyalahkan dirinya. Adian sudah tidak tahan lagi mendengar kalimat yang tidak masuk akal itu. Dipeluknya sahabatnya dengan erat. 

Tubuh Kimaya bergetar dan terasa kurus sekali.

+++ 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun