Andira turun dekat rumahnya. Mardalih tak diperkenankan mampir ke rumahnya. Kira Mardalih, mungkin Andira belum siap menerimanya di rumahnya. Mardalih berniat dalam waktu dekat akan berkunjung ke rumah Andira sekalian mengenalkan diri kepada orang tuanya.
Sepekan berlalu, Minggu siang, di tepi jalan dekat rumah Andira, Mardalih menelepon. Andira kaget, tidak mengira Mardalih akan datang. Mardalih sengaja ingin membuat kejutan sekaligus menguji apakah dirinya diperkenankan bertamu. Meskipun sepertinya agak terpaksa, Andira mempersilakan Mardalih datang.
"Maaf yah, begini keadaannya. Rumahnya jelek, berantakan pula." Andira grogi.
"Tidak apa-apa. Santai saja."
Ayah Andira sedang pergi, sedangkan ibunya ada. Mengetahui kedatangan Mardalih, ibunya muncul. Mardalih mengenalkan diri.
"Oh ini orangnya. Aku sudah tahu, kamu Mardalih bukan?"
"Betul Bu."
"Maaf yah, Andira, anak pertamaku, tidak akan dijodohkan dengan guru, apalagi guru honor. Aku bekerja di TU SMP. Â Jadi aku tahu persis prosfek guru honor sekarang. Untuk jadi PNS selain lama juga tidak gampang. Paling tidak, Andira harus punya suami pengusaha atau pekerja kantor perusahaan. Tapi kalau mau berteman kalian berteman saja sebagai sesama guru."
"Ibu. Kok ibu begitu!" Andira menyelak.
"Kamu diam."
Mardalih tertunduk. "Begitu Bu yah. Tadinya saya bermaksud ingin memperistri Andira. Kami bukan remaja lagi sehingga menurut hemat saya tidak perlu berlama-lama kami menjalin hubungan. Selain, saya diminta segera menikah agar tidak dilangkahi adik saya yang akan segera menikah."