Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA

Belajar menebar kebaiakan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warisan Abah

15 September 2021   11:54 Diperbarui: 30 Oktober 2021   08:27 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usman Hermawan

Pagi-pagi sekali aku dikagetkah oleh kedatangan dua orang laki-laki berlalu-lalang di sisi kebun dekat rumahku. Setelah kuamati, ternyata mereka sedang mengukur panjang lebar tanah miliknya yang berbatasan dengan kebunku yang luasnya hanya puluhan meter pesegi.  Kata istriku, itu kali kedua. Beberapa hari sebelumnya mereka melakukan hal yang sama. Istriku lupa memberi tahu aku.

Belakangan kuketahui lelaki berusia sekira enam puluhan itu adalah Pak Maruk dan anaknya. Dia membeli lahan itu dari  abah  empat tahun lalu. Di batas tanahnya telah dibangun tembok dan di sebagian besar lahannya telah dibangun rumah kontrakan lima pintu.

Mereka menemui Marsidik, adikku, di rumahnya. Marsidiklah yang pernah ikut mengukur tanah itu dan pada waktu lain disuruh abah ke rumahnya untuk menagih uang kekurangan pembayarannya. Marsidik pula yang mendapat bagian paling banyak, dibanding beberapa anak abah lainnya yang tidak dilibatkan. Bahkan tidak semua anak abah, dari sepuluh bersaudara, diberi uang dari hasil penjualan tanah yang kesekian kali itu.

Mengapa begitu? Tak ada penjelasan dari abah. Demikian juga soal jumlah uang yang diterima, entah berapa rupiah. Yang aku tahu abah bermaksud memberi satu juta kepadaku. Namun aku menolaknya dengan halus. Bukan karena terlalu sedikit, tapi karena pada prinsipnya aku tidak setuju dengan kebiasaan abah menjual tanah warisan dari kekek.

Aku lebih suka, jika lahan yang tersisa dipertahankan. Aku meyakini, dengan harga tanah yang selalu merangkak naik, pendapatan berapa pun dari anak-anak abah tidak akan mampu membelinya. Karena sekalipun pendapatan tinggi akan selalu diimbangi dengan pengeluaran yang tinggi pula. Jika tak cukup lahan, mau tinggal di mana cucu-cucu abah kelak?

Sepulangnya Pak Maruk, Marsidik menghampiriku. Dia melaporkan obrolannya dengan dengan Pak Maruk seraya menunjukkan foto kuitansi pembayaran tanah, sertifikat, dan hasil ukur manual buatan Pak Maruk sendiri.

Dari empat lembar kuitansi jumlah nominalnya seratus sembilan puluh sembilan juta rupiah, sedangkan pada sertifikat luas tanahnya seratus sembilan puluh satu meter persegi. Harga per meter satu juta. Berarti ada kelebihan uang pembayaran delapan juta yang diterima abah. Pada gambar ukur manual yang dibawa Pak Maruk luas tanah seratus tujuh puluh enam koma enam meter persegi. Artinya, luas tanah yang dibeli Pak Maruk kurang empat belas koma empat meter  persegi.

"Pak Maruk minta ganti."

"Kok bisa yah uangnya lebih begitu, sudah empat tahun pula kejadiannya? Kenapa tidak dilakukannya saat abah masih ada?"

"Aku juga mempertanyakan hal itu. Dia menjelaskan panjang lebar mengapa baru komplain sekarang. Dia itu kerjanya di kapal jadi ABK, anak buah kapal. Jarang pulang. Urusan pembelian tanah diserahkan kepada istrinya. Sekarang istrinya dipulangkan ke kampungnya karena diketahui uang yang dikirimnya tiap bulan habis. Pengakuan istrinya, dihipnotis seseorang. Laki-laki. Ah, aku tidak percaya. Masa iya dihipnotis tiap bulan! Istrinya masih muda, cantik. Mungkin itu diporotin selingkuhannya. Aku yakin istrinya selingkuh, streslah dia."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun