Gue takut. Takut dianggap gak total. Takut dianggap gak ambisius."
"Takut dibilang gak ambisius? Man, ambisi tanpa arah itu kayak mobil kenceng tapi gak tahu tujuan. Lo butuh istirahat biar bisa jalan jauh. Lo butuh waktu buat... menikmati hidup."
Sunyi sejenak. Hanya suara klakson dan lalu lintas dari kejauhan yang terdengar.
"Jadi, menurut lo, gue harus mulai bikin batasan? Kayak... stop kerja jam 6 sore, terus matiin HP kantor?"
"Exactly. Dan jangan merasa bersalah kalau lo lagi gak produktif. Manusia itu bukan mesin. Kita butuh waktu buat healing, buat ngobrol, buat ngelamun bahkan."
Arman tertawa lirih. "Gue lupa rasanya bengong."
Rani tersenyum lebar. "Mulai besok, lo coba. Bikin jam kerja, dan di luar itu... jadi manusia. Jalan pagi, nonton film, makan sama nyokap. Lo bakal kaget betapa segarnya lo nanti."
Arman memandang Rani lama. "Gue gak janji langsung bisa. Tapi gue mau coba."
"Gue gak minta lo berubah kayak sulap, Man. Tapi lo udah sadar, dan itu langkah pertama yang keren."
Di bawah langit malam yang kini bertabur bintang, mereka duduk berdua dalam diam yang nyaman. Suara kota tetap bising, tapi hati Arman terasa sedikit lebih tenang. Mungkin, pikirnya, hidup yang seimbang bukan soal besar atau kecilnya perubahan. Tapi soal keberanian untuk mulai memilih: hidup sepenuhnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI