Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hidup itu Tentang Keseimbangan, Bro!

11 Juli 2025   10:41 Diperbarui: 11 Juli 2025   14:22 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hidup yang seimbang / sumber: klikdokter

Langit mulai meremang di atas kota. Awan bergerak pelan menutupi langit yang berwarna jingga, menyapu sore dengan lembut. Di atas atap sebuah rumah kos tua di sudut Jakarta Selatan, dua sosok duduk bersisian. Arman, mengenakan kemeja kerja yang belum sempat ia ganti sejak siang tadi, dan Rani, sahabat lamanya yang baru beberapa hari kembali dari Melbourne, setelah lima tahun mengejar karier dan kuliah.

Di tempat itu, mereka berdua pernah berbagi banyak hal di masa muda: obrolan panjang, mimpi besar, juga patah hati yang konyol. Kini, setelah berbulan-bulan tak bertemu, mereka duduk di bangku kayu lapuk yang masih tersisa sejak masa kuliah.

"Aneh ya," gumam Arman, menatap langit, "dulu kita suka ngelamun di sini, ngebayangin masa depan. Sekarang... kita udah di masa depan, tapi kok rasanya hampa."

Rani menoleh, menatap wajah lelah sahabatnya. "Lo kenapa, Man?"

"Capek," jawabnya pendek. "Kerja tiap hari kayak dikejar setan. Laptop gak pernah tutup, HP gak berhenti bunyi. Tapi di tengah semua itu... gue ngerasa kayak kehilangan arah."

Rani tersenyum simpul. "Gue tahu rasanya. Gue juga pernah kayak gitu."

"Lo pernah? Bukannya lo hidupnya adem banget di Melbourne sana? Bisa yoga tiap pagi, brunch tiap weekend, liburan ke New Zealand?"

Rani terkekeh. "Itu yang lo liat dari Instagram. Tapi sebenernya, gue juga pernah ngerasa kayak lo. Kehilangan arah, burnout, bingung hidup ini buat apa. Sampai akhirnya gue belajar satu hal penting: balance."

"Balance?" Arman menoleh sambil mengangkat alis, skeptis. "Lo pikir itu semudah muter tombol volume? Ini bukan soal gue gak tahu pentingnya 'keseimbangan', Ran. Tapi hidup gak ngasih pilihan buat itu."

"Lho, siapa bilang gak ada pilihan? Yang seringkali gak ada tuh keberanian buat milih," jawab Rani kalem.

"Gampang buat lo ngomong gitu. Lo bisa kerja dari mana aja, jam fleksibel, klien bule yang ngerti 'mental health'. Sedangkan gue? Deadline tiap hari, bos cerewet, WhatsApp grup kerja 24 jam hidup. Lo pikir gue bisa seenaknya bilang 'gue mau waktu buat diri gue sendiri'?"

Rani menatapnya tajam, tapi masih sabar. "Justru karena lo ngerasa hidup lo dikontrol kerjaan, lo harus mulai ngambil kontrol balik. Man, hidup bukan cuma soal kerja."

Arman menghela napas, panjang. "Tapi kerja itu penting, Ran. Gue gak mau jadi orang yang nyesel karena kariernya stagnan cuma gara-gara pengen 'me time'."

"Kerja penting, yes. Tapi lo tahu nggak, terlalu fokus sama kerjaan itu bisa ngerusak hal-hal yang lebih penting. Lo masih inget nggak ungkapan, 'Ketika lo tua nanti, lo nggak bakal nyesel soal kerjaan yang gak selesai, tapi lo bakal nyesel karena gak cukup waktu bareng keluarga dan orang-orang yang lo sayang.'"

Arman mendengus pelan. "Klise."

"Ya mungkin klise, tapi benar. Lo sekarang kerja keras buat siapa? Buat nyokap lo? Tapi kapan terakhir kali lo makan bareng sama dia tanpa sambil buka HP?"

Arman terdiam. Angin sore menggerakkan rambutnya yang sudah acak-acakan. Ia menunduk, meremas jari-jarinya.

"Keseimbangan itu bukan berarti lo harus nyantai tiap hari, Man. Tapi lo tahu kapan harus kerja, kapan harus berhenti, dan kapan harus hidup," ujar Rani lebih lembut.

"Gue gak tahu mulai dari mana," gumam Arman akhirnya.

"Mulailah dari nanya ke diri lo: apa yang paling penting? Lalu kudu bikin prioritas. Set waktu kerja dan waktu istirahat. Matikan notifikasi kerja di luar jam kantor. Lo juga punya hak buat bahagia, bro."

Arman menatap langit yang mulai gelap. Mentari sudah benar-benar tenggelam.

Gue takut. Takut dianggap gak total. Takut dianggap gak ambisius."

"Takut dibilang gak ambisius? Man, ambisi tanpa arah itu kayak mobil kenceng tapi gak tahu tujuan. Lo butuh istirahat biar bisa jalan jauh. Lo butuh waktu buat... menikmati hidup."

Sunyi sejenak. Hanya suara klakson dan lalu lintas dari kejauhan yang terdengar.

"Jadi, menurut lo, gue harus mulai bikin batasan? Kayak... stop kerja jam 6 sore, terus matiin HP kantor?"

"Exactly. Dan jangan merasa bersalah kalau lo lagi gak produktif. Manusia itu bukan mesin. Kita butuh waktu buat healing, buat ngobrol, buat ngelamun bahkan."

Arman tertawa lirih. "Gue lupa rasanya bengong."

Rani tersenyum lebar. "Mulai besok, lo coba. Bikin jam kerja, dan di luar itu... jadi manusia. Jalan pagi, nonton film, makan sama nyokap. Lo bakal kaget betapa segarnya lo nanti."

Arman memandang Rani lama. "Gue gak janji langsung bisa. Tapi gue mau coba."

"Gue gak minta lo berubah kayak sulap, Man. Tapi lo udah sadar, dan itu langkah pertama yang keren."

Di bawah langit malam yang kini bertabur bintang, mereka duduk berdua dalam diam yang nyaman. Suara kota tetap bising, tapi hati Arman terasa sedikit lebih tenang. Mungkin, pikirnya, hidup yang seimbang bukan soal besar atau kecilnya perubahan. Tapi soal keberanian untuk mulai memilih: hidup sepenuhnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun