Berita yang kita baca, dengar, atau tonton, hari-hari ini semakin membuat kita miris. Sepertinya tiada hari tanpa aksi kriminalitas.
Di saat teknologi memanjakan, kita menyaksikan ironi yang menyedihkan. Kekerasan sosial meningkat, empati memudar, dan generasi muda banyak yang kehilangan arah hidup.
Penyimpangan sosial seperti kecanduan, gangguan mental, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kejahatan jalanan, seolah menjadi fenomena yang tak terelakkan.
Lalu pertanyaannya muncul: Apakah semua ini terjadi karena jumlah manusia yang terlalu banyak? Karena hidup yang terlalu nyaman dan segalanya serba instan? Atau ada sesuatu yang lebih dalam yang tengah rusak dalam struktur sosial kita?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita teringat sebuah eksperimen yang sempat menggemparkan dunia ilmu pengetahuan dan menjadi metafora sosial yang kuat. Eksperimen atau penelitian itu dikenal dengan nama Universe 25, yaitu eksperimen sosial yang dilakukan bukan pada manusia, tapi pada... tikus.
Sebuah Dunia Tikus yang Sempurna
Adalah John B. Calhoun, seorang peneliti perilaku dari Amerika Serikat, yang pada akhir 1960-an mencoba menjawab pertanyaan tentang dampak kepadatan penduduk terhadap perilaku sosial.
Ia membangun sebuah ruang eksperimen tertutup, menciptakan dunia ideal bagi tikus-tikus. Tempat itu disebutnya Universe 25.
Di dunia kecil itu, tikus tidak perlu khawatir tentang makanan, air, atau suhu. Semuanya disediakan tanpa batas. Tidak ada predator, tidak ada penyakit. Sebuah tempat yang cukup untuk ribuan tikus hidup bersama.
Eksperimen ini dimulai dengan 8 tikus sehat. Dalam waktu singkat, populasi berkembang dengan pesat. Namun, setelah mencapai titik tertentu, sekitar 2.000 tikus, segala sesuatunya mulai berubah.
Ketika Struktur Sosial Runtuh
Tikus-tikus jantan mulai kehilangan minat untuk bersaing dan berkembang biak. Sebagian menjadi agresif dan menyerang tikus lain tanpa sebab. Yang lainnya menjadi apatis, menyendiri, dan hanya fokus merawat diri mereka sendiri. Calhoun menyebut mereka "the beautiful ones", tikus-tikus yang tampak sehat secara fisik tapi lumpuh secara sosial.
Tikus-tikus betina pun menunjukkan perilaku menyimpang. Mereka menjadi agresif terhadap anak-anak mereka sendiri, bahkan tega membunuhnya.
Tingkat kelahiran pun turun drastis. Kekerasan meningkat. Struktur sosial runtuh.
Meski makanan dan tempat tinggal masih tersedia melimpah, tikus-tikus itu berhenti berkembang biak dan akhirnya... punah.
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Calhoun menyimpulkan bahwa bukan kelaparan, penyakit, atau kekurangan fisik yang membunuh para tikus. Melainkan runtuhnya struktur sosial dan hilangnya makna hidup. Ia menyebut fenomena ini sebagai "behavioral sink" atau lubang gelap perilaku, di mana makhluk hidup yang kehilangan peran sosial dan koneksi akhirnya rusak dari dalam.
Ia kemudian memperingatkan: jika manusia terlalu nyaman, terlalu penuh, terlalu sibuk dengan diri sendiri - tanpa keterlibatan sosial yang bermakna - maka kita sedang menghadapi kehancuran.
Pelajaran untuk Dunia Manusia
Eksperimen Universe 25 memang dilakukan pada tikus. Tapi ia berbicara banyak tentang manusia modern. Hari ini, kita hidup dalam kenyamanan yang belum pernah ada sebelumnya. Akses makanan, hiburan, dan teknologi serba instan. Tapi justru di saat itulah, banyak dari kita kehilangan makna hidup.
Kita tak lagi mengenal tetangga. Anak-anak dibesarkan oleh gawai. Peran ayah, ibu, guru, dan masyarakat menjadi samar. Kita sibuk membangun dunia fisik, tapi meninggalkan dunia sosial dan spiritual kita kosong.
"Kenyamanan tanpa makna adalah awal dari kehampaan; saat hidup tak lagi menantang, jiwa pun kehilangan arah."
Agar Kita Tidak Bernasib Seperti Universe 25
Pelajaran terbesar dari eksperimen ini adalah bahwa makhluk sosial tidak bisa hidup hanya dengan kenyamanan fisik. Kita butuh peran. Kita butuh tantangan. Kita butuh keterikatan emosional dan makna yang lebih dalam dari sekadar bertahan hidup.
Untuk itu, kita harus mulai membangun ulang:
Ruang sosial yang sehat, di mana anak-anak belajar dari teladan dan kasih sayang.
Tanggung jawab peran, agar setiap individu merasa dibutuhkan dan memiliki makna.
Kesadaran spiritual, bahwa hidup bukan hanya tentang kenyamanan, tapi tentang kontribusi.
Pendidikan nilai, bukan hanya kecerdasan.
Jika tidak, kita berisiko menjadi seperti tikus-tikus dalam Universe 25, hidup dalam kemewahan, tapi mati dalam kesepian.
Karena ternyata, ketika dunia terlalu nyaman, justru di situlah awal kehancuran bisa dimulai.
"Bukan kelaparan yang membunuh peradaban, tapi hilangnya peran, kasih, dan keterhubungan antar sesama."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI