Buku The Death of Expertise -- edisi Indonesia menjadi Matinya Kepakaran - ditulis Tom Nichols sebagai bentuk kritik tajam terhadap berkembangnya sikap anti-kepakaran di masyarakat modern. Walaupun ditulis tahun 2017 atau delapan tahun silam, isinya masih relevan sampai sekarang.
Melalui buku ini, Nichols, memperingatkan bahwa publik semakin menolak otoritas ilmiah dan profesional, dan lebih memilih informasi instan daripada pengetahuan yang dibangun lewat proses panjang. Hari ini, peringatan itu bukan hanya terbukti, bahkan kita hidup di tengah realitasnya.
Setiap hari, melalui media sosial kita diserbu gelombang konten, baik berupa teks atau video, yang menuntut perhatian cepat dan reaksi spontan. Banyak dari konten tersebut isinya hanya opini tanpa dasar atau informasi yang belum tentu akurat (hoaks), tapi mudah dipercaya karena tampil menarik dan sesuai dengan apa yang ingin kita dengar (pengaruh algoritma). Sumbernya bisa siapa saja: selebgram, YouTuber, bahkan akun anonim, bukan ahli atau praktisi berpengalaman.
Fenomena ini bukan sekadar banjir informasi, melainkan krisis epistemologis. Masyarakat makin sulit membedakan mana opini populer dan mana pendapat berbasis riset. Hal ini diperparah oleh algoritma yang menciptakan ruang gema, sehingga kita hanya disuguhi konten sejenis, yang memperkuat keyakinan dan menutup ruang diskusi.
Pergeseran ini berdampak luas. Banyak orang kini merasa cukup "belajar" dari konten pendek atau jawaban cepat dari mesin pencari atau memanfaat AI (kecerdasan buatan) yang sekarang makin populer. Proses membaca buku, mencerna argumen panjang, atau memahami nuansa analisis menjadi aktivitas yang dianggap melelahkan, bahkan tidak relevan. Padahal, seperti diingatkan Nichols, keahlian tidak dibangun dari opini sesaat, tetapi dari dedikasi panjang, pengalaman, dan pembuktian.
Ironisnya, dalam isu-isu publik seperti pandemi, perubahan iklim, atau geopolitik, pandangan para ahli seringkali ditolak, digantikan narasi alternatif yang viral namun keliru. Bukan karena kurangnya data, tapi karena rendahnya literasi dan keengganan mendengarkan suara yang tidak langsung memuaskan emosi.
Tentunya, para ahli punya tanggung jawab. Mereka harus lebih terbuka, komunikatif, dan rendah hati dalam menjelaskan temuan mereka. Kepercayaan publik tidak bisa diminta, tetapi dibangun lewat konsistensi dan integritas. Di sisi lain, publik juga harus belajar kembali untuk menghargai bahwa tidak semua hal bisa dipahami secara instan.
Ke depan, tantangan kita bukan hanya melawan hoaks atau disinformasi, tapi menghidupkan kembali budaya belajar yang kritis dan mendalam. Mengajarkan bahwa keingintahuan bukan hanya soal mencari jawaban, tetapi soal menghargai proses mencari tahu. Bahwa membaca buku, mendengar argumen berbeda, dan mengakui keterbatasan diri adalah bagian penting dari kehidupan demokratis.
Untuk mengatasi krisis ini, Nichols menyarankan:
- Meningkatkan kerendahan hati para pakar/ahli atau kaum intelektual. Masyarakat perlu menyadari batasan pengetahuan mereka dan menghargai keahlian orang lain.
- Mendorong pendidikan yang kritis. Sistem pendidikan harus fokus pada pengembangan keterampilan berpikir kritis dan evaluasi informasi.
- Memperbaiki komunikasi para pakar/ahli. Para ahli harus berusaha menyampaikan informasi dengan cara yang jelas dan dapat diakses oleh publik.
- Menumbuhkan kepercayaan terhadap institusi. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam institusi dapat membantu memulihkan kepercayaan publik.
Nichols tidak mengajak kita untuk tunduk pada otoritas, tapi mengajak kita untuk membangun kembali respek terhadap pengetahuan yang sungguh-sungguh. Dalam dunia yang serba cepat, mempertahankan kedalaman berpikir adalah bentuk perlawanan yang paling penting.