Mohon tunggu...
Unu Nurahman
Unu Nurahman Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 Leuwimunding Kabupaten Majalengka dan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Prodi Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Sebelas April Sumedang

Guru Penggerak Angkatan 2 Pengajar Praktik PGP Angkatan 6 dan 9 Sie, Humas Komunitas Guru Penggerak Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mewaspadai Radikalisme di Satuan Pendidikan

28 Maret 2024   08:16 Diperbarui: 8 April 2024   12:02 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahfud MD sebagaimana ditulis di Beritasatu.com (14/03/2022) menjelaskan tiga tingkatan radikalisme. Pertama, tingkatan jihadis yaitu tingkatan paling ekstrem yang tidak segan membunuh orang yang tidak sepaham atau menghalangi terwujudnya paham mereka. Kedua, tingkatan takfiri yang memandang paham lainnya sesat, kafir harus dijauhi bahkan dimusuhi meskipun dalam lingkup satu agama. Ketiga, paham radikalisme ideologis yang menganggap merekalah yang paling benar dan menyalahkan faham orang lain.

Pelaku radikalisme biasanya melakukan intimasi yang dilandasi oleh komitmen, pengorbanan dan kompromi sehingga target akan menaruh kepercayaan penuh kepada mentor atau orang yang menjadi idolanya. 

Mereka menggunakan beberapa narasi  seperti mengungkapkan ketidakadilan dari kebijakan pemerintah dan pembangunan nasional, menghidupkan kembali konsep Negara Islam Indonesia (NII),  mengungkapkan dendam dari peristiwa bersejarah, mengglorifikasi tokoh tokoh kekerasan sebagai pahlawan, menanamkan doktrin agama yang fanatik, intoleran dan ekslusif serta berhaluan garis keras atau menganggap kekerasan sebagai solusi permasalahan yang dihadapi.

Sejarah mencatat NII yang didirikan oleh SM Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1949 memberontak kepada pemerintah NKRI dan berhasil ditumpas pada tanggal 3 Juni 1962. Para pengikut paham NII membentuk komando jihad yang dipimpin Warman melakukan, Haji Ismail Pranoto dan Haji Danu Mohamad Hasan. 

Komando Jihad melakukan berbagai aksi terror pada tahuan 1980-an. Konsepsi NII kemudian dilanjutkan oleh Jamaah Islamiah (JI) dibawah pimpinan Abu Bakar Baasyir yang disinyalir memiliki keterkaian dengan Alqaeda dan Taliban serta terlibat dalam aksi terorisme sejak tahun 1993.

Media sosial (medsos) sering digunakan oleh pelaku radikalisme sebagai media indoktrinasi dan perekrutan. Para pengguna dapat mengakses chanel yang memuat konten radikalisme. Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Komjen Boy Rafli Amar dalam Rapat dengan Komisi III DPR (25/01/2022) menjelaskan bahwa setidaknya ada 600 akun berpotensi radikal di internet.  Akun berisi 650 konten propaganda dengan perincian 409 bersifat umum atau informasi serangan, 147 konten anti NKRI, 85 konten anti Pancasila, 7 konten intoleran, dan 2 konten berkait paham Takfiri.


Pada kurun Juli 2023 sampai dengan Maret 2024, Kominfo memutus akses atau take down sebanyak 5.731 konten dan akun terindikasi memuat aktivitas indoktrinasi serta penyebaran paham radikalisme. ekstrimisme  dan terorisme Disamping itu, Kominfo juga bekerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Badan Nasional Penanganan Terorisme (BNPT) untuk terus melakukan pemantauan platform digital yang memuat konten radikalisme dan terorisme.

Radikalisme harus ditangani secara intensif sebelum berkembang menjadi terorisme. Erwin Kusuma dalam Jejak Sejarah Terorisme (2010:161) mengutip pendapat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa terdapat tiga akar terorisme di Indonesia. Pertama, tumbuhnya ideologi radikal yang ekstrem. Kedua, penyimpangan terhadap ajaran agama. Ketiga, kondisi masyarakat yang susah, ekstrem dalam kemiskinan absolut atau keterbelakangan yang ekstrem. Terorisme ditandai dengan adanya serangan-serangan terkoordinasi secara tiba tiba dan target korban jiwa yang acak yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat.

Untuk menangkal radikalisme, Pemerintah Indonesia memprogramkan penguatan pendidikan karakter (character education) dan nilai-nilai keagamaan sangat penting dalam menangkal radikalisme di lingkungan sekolah. Pendidikan karakter yang dimaksud adalah suatu usaha sadar yang terencana dan terarah melalui lingkungan pembelajaran untuk tumbuh kembangnya seluruh potensi pelajar yang memiliki watak berkepribadian baik, bermoral-berakhlak, dan berefek positif konstruktif pada alam dan masyarakat. 

Kurikulum Merdeka yang diberlakukan oleh Kemendikbudristek pada tahun 2022 memiliki karakteristik pembelajaran berbasis projek (project-based learning) untuk pengembangan soft skills dan karakter atau Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Terdapat beberapa tema utama yang perlu dikembangkan menjadi modul dengan topik dan tujuan yang lebih spesifik, yaitu: Bangunlah Jiwa dan Raganya; Berekayasa dan Berteknologi untuk Membangun NKRI; Bhinneka Tunggal Ika; Gaya Hidup Berkelanjutan; Kearifan Lokal; Kewirausahaan; dan Suara Demokrasi.

Permendikbud Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kemendikbud tahun 2020-2024 menjelaskan bahwa tujuan pendidikan dalam merdeka belajar adalah mencetak siswa dengan Profil Pelajar Pancasila yaitu perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat (life-long learners) yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME) dan berahlak mulia, mandiri, bergotong royong, bernalar kritis dan berkebhinekaan global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun