Mohon tunggu...
Winaau
Winaau Mohon Tunggu... Mahasiswa - Psystud

Belajar, healing, belajar, healing

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Edukasi Psikologi Bencana: Autisme and Disaster

14 Januari 2022   14:26 Diperbarui: 14 Januari 2022   15:39 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia merupakan negara yang termasuk dalam daftar negara paling rawan bencana, dimana seringnya terjadi bencana yang mengancam masyarakatnya. Hal ini menyebabkan masyarakat untuk selalu waspada dan siap siaga khusunya saat pemerintah sudah memperingatkan akan munculnya bahaya bencana khusunya bencana alam. 

Hasil pencatatan BNPB Indonesia tahun 2018 membuktikan bahwa sejak tahun 2016 sampai dengan awal tahun 2018, sudah lebih dari 2.700 bencana alam terjadi di seluruh wilayah yang ada di Indonesia. Berdasarkan data tersebut pemerintah harus lebih giat mensosialisasikan upaya pengurangan risiko bencana seperti yang tercantum dalam Undang Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana kepada masyarakat. Banyaknya bencana alam di Indonesia telah membuat masyarakatnya untuk selalu waspada terhadap bencana khusunya bencana alam.

Autisme ialah kelainan yang disebabkan oleh gangguan saraf  pada otak yang menyebabkan permasalahan terhadap individu.  Hal ini menyebabkan permasalahan individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Gangguan yang disebabkan autisme ini akan menyebabkan hal fatal karena kesulitan untuk meminta ataupun mendapat bantuan.

1. Pengertian Autisme

Autism Spectrum Disorders (ASD) atau biasa kita kenal sebagai autis merupakan gangguan perkembangan saraf, mental, atau perilaku yang disebabkan karena kondisi medis, genetik,  maupun faktor lingkungan yang diketahui. Dalam DSM V, individu autis ditandai dengan defisit pada interaksi, komunikasi, dan perilaku yang dilakukan secara berulang (APA, 2013). 


Yang pertama, gangguan interaksi dan komunikasi sosial yang membuat mereka tidak mampu memahami isyarat sosial baik ucapan verbal maupun non-verbal yang berupa ekspresi dan emosi. Anak autisme ini juga tidak memiliki minat dalam berinteraksi dengan teman-temannya. Kedua, pola perilaku, minat, atau aktivitas yang terbatas dan berulang. Individu autis akan melakukan gerakan motorik seperti gerakan tangan tertentu yang dilakukan berulang hingga melakukan perilaku tertentu berdasarkan rutinitas atau pola ritual. 

Misalnya memakan makanan yang sama setiap hari, melewati jalan yang sama setiap hari untuk pergi ke sekolah, ritual salam, dan sebagainya. Individu autis juga lebih fokus pada hal tertentu yang dianggapnya menarik, ia akan asyik dengan objek tertentu hingga akan membuatnya marah atau tantrum saat objek yang disukainya tidak ada. 

Contohnya, anak yang memiliki boneka kesukaannya, saat bonekanya hilang, ia akan menangis dan berteriak sampai bonekanya kembali didapatkan. Tidak hanya itu, individu autis juga hiper atau hiporeaktivitas terhadap sensorik tertentu. Hiperaktivitas membuat individu autis sangat sensitif dengan sensori yang sangat lemah misalnya suara yang sangat kecil, dan hiporeaktivitas akan membuat individu autis tidak peka dan tidak tertarik dengan sensori misalnya suhu yang sangat panas, benturan, daya tarik visual atau gerakan tertentu. 

Dengan begitu, individu autis bisa ditandai dengan tidak bisa berada dalam kondisi ramai, melihat cahaya lampu, tidak merasakan sakit saat terbentur hal tertentu, ataupun tidak suka dengan pelukan. selanjutnya, gejala yang ada ini harus muncul pada periode perkembangan awal saat individu masih kanak-kanak. Misalnya saat usia 6 bulan anak belum menunjukkan senyum dan ekspresi hangat dan gembira, saat usia 12 bulan tidak menunjukkan tanggapan saat dipanggil namanya, dan saat usia 24 bulan anak tidak menirukan kata atau mengulangi kata yang didengarnya (Hallahan dkk., 2014).

Individu autis ini dapat diklasifikasikan setelah dapat didiagnosa autis dan dapat diberikan melalui Childhood Autism Rating Scale (CARS) yaitu autis ringan, autis sedang, dan autis berat. 

Autis ringan cukup membuat anak-anak dapat melakukan kontak mata meskipun tidak berlangsung lama, menunjukkan respon saat dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi wajah hingga mampu berkomunikasi dua arah untuk beberapa waktu. Anak autis sedang tidak menunjukkan respon saat dipanggil namanya, mengalami gangguan motorik dan perilaku yang dilakukan berulang namun masih bisa dikendalikan. Berbeda dengan autis berat yang akan melakukan tindakan-tindakan yang tidak terkendali seperti memukul-mukul kepala secara berulang dan hanya akan berhenti saat ia lelah (Mujiyanti, 2011).

2. Gambaran Bencana di Indonesia

Wilayah Indonesia yang berada di lingkaran cincin api pasifik (ring of fire) menyebabkan negara ini sangat rawan terjadinya bencana alam. Suatu bencana dapat dikatakan sebagai bencana alam jika bencana tersebut murni terjadi akibat perubahan alam atau fenomena alam yang sedang terjadi. Bencana alam yang mengancam antara lain seperti gempa bumi, gunung meletus, angin puting beliung, banjir, tsunami, dsb. 

Situasi yang sangat rawan ini menuntut masyarakat untuk memiliki kesiapan bencana, baik bencana fisik maupun sosial serta dampak fisik dan social politik yang muncul sebagai akibat dari bencana yang mengancam tersebut. Bencana dapat dikategorikan sebagai bencana sosial ketika struktur sosial ataupun kelompok-kelompok sosial yang ada di masyarakat mengalami benturan atau konflik satu sama lainnya. 

Selain konflik, suatu bencana juga dapat dikategorikan sebagai bencana sosial ketika rekonstruksi sosial masyarakat pulih tanpa memakan waktu yang lama. Semakin lama pulihnya kondisi sosial masyarakat akibat suatu bencana, maka dapat dikatakan bahwa struktur sosial yang ada tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Selain ring of fire, Indonesia juga rentan terkena berbagai bencana sosial dan non alam lainnya akibat posisinya yang berada pada lintas perdagangan dunia. Dengan begitu, ada banyak masyarakat Internasional yang singgah ke Indonesia, baik apakah untuk alasan wisata ataupun alasan bisnis.

Bencana sendiri menurut UU RI No. 24 Tahun 2007 (dalam Prabawa, Indriani, dan Dewiyanti, 2019) mendefinisikan bencana sebagai sebuah rangkaian peristiwa mengancam serta mengganggu penghidupan masyarakat yang dapat disebabkan oleh alam, non alam, faktor manusia, faktor kerusakan lingkungan, kerugian harta benda serta dampak psikologis. Beberapa faktor non alam dapat disebabkan oleh kegagalan teknologi, kegagalan modernisasi, epidemi, atau wabah penyakit.

Untuk bencana sosial dan non alam, Indonesia memiliki bencana seperti terorisme, pandemi, tawuran dan konflik antar suku, pemberontakan, dsb. Indonesia tidak memiiki bencana seperti efek nuklir, dan senjata kimia berbahaya lainnya karena Indonesia tidak memiliki fasilitas tersebut.

3. Autisme dan Bencana

Autisme merupakan suatu gejala yang disebabkan oleh spektrum autisme atau autism spectrum disorder (ASD). Penderita autisme biasanya memiliki pola perilaku, aktivitas, atau minat yang tampak tidak biasa, terbatas, dan dilakukan secara berulang-ulang. Gejala penyakit ini biasanya terjadi pada anak- anak, penyebab dari autisme sendiri biasanya faktor genetik atau lingkungan bisa saja terjadi karena paparan racun, asap rokok, infeksi, obat-obatan dan gayaa hidup yang tidak sehat. 

Selain itu, ketika seorang ibu mengandung anak dan terjadi konflik bencana bisa mempengaruhi terjadinya autisme. Menurut seorang psikologi Poppy Amalya mengatakan, kondisi konflik dan bencana di daerah bisa menyebabkan anak berkebutuhan khusus.

Seseorang yang memiliki gejala autisme mempunyai 3 karakteristik yaitu, IQ tinggi, IQ sedang, dan IQ rendah. Di dalam Jurnal Pengaruh Pemberian Terapi Bermain Terhadap Pembelajaran Mitigasi Bencana Pada Anak Autis Berbasis Disaster Nursing Competency dikatakan bahwa orang yang mengalami gejala autisme rata-rata anak laki-laki dan orang yang mengalami IQ rendah sebanyak 43,3%. Anak laki-laki cenderung lebih rentan mengalami gangguan perkembangan sistem saraf termasuk autis dibandingkan anak perempuan.

Rata-rata orang yang memiliki gejala autisme belajar memahami situasi memakai metode bermain dan menggambar. Dan biasanya bisa mempengaruhi terhadap perilaku seorang yang memiliki gejala autisme. 

Ketika seorang autisme dalam keadaan bencana atau bahaya contohnya bencana gempang bumi yang ada di benak seorang autisme berlindung di bawah meja dan berbeda dengan orang normal mereka bakal melarikan diri keluar ruangan yang belum tentu aman untuk berlidung. Seorang yang memiliki gejala autisme memahami tata cara mitigasi bencana dan belajar melalui pemahaman menggambarnya. Dan seringkali orang yang memiliki gejala autisme lebih pintar dibandingkan dengan orang normal pada umumnya.

Selain itu dampak kondisi ASD ketika dalam pandemi maupun pasca pandemi mengakibatkan terjadinya peningkatan angka kecemasan dan stres pada diri anak ASD. Tingginya angka stres berpotensi meningkatkan perilaku agresi, risiko depresi, dan meltdown. Dan pembelajaran secara virtual kurang cocok bagi ASD karena meraka tidak akan fokus terhadap gangguan cahaya maupun suara terhadap laptop. Ruang sosialisasi terbatas dan menyebabkan anak ASD terisolasi.

Dampak Paparan Bencana pada Autisme 

Bencana dan malapetaka, seperti Covid-19, berdampak pada individu dengan kondisi mental yang parah dan kronis secara tidak proporsional. Namun, tampaknya ada sedikit bukti tentang bagaimana individu dengan Autism Spectrum Disorder (ASD), salah satu kondisi perkembangan saraf paling umum di seluruh dunia, bereaksi terhadap kondisi bencana. 

Dengan banyaknya bencana di seluruh dunia seperti serangan teroris, tsunami, angin topan, pemboman, dan gempa bumi, kurangnya fokus pada implikasi psikologis mereka untuk anak-anak dengan ASD mulai menjadi perhatian. Namun, di luar satu penelitian yang menunjukkan individu dengan ASD mengalami penurunan perilaku adaptif setelah terpapar gempa bumi, dan yang lain menunjukkan pelatihan kesadaran bencana untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana anak-anak dengan ASD, tidak ada data tentang bagaimana individu dengan ASD bereaksi terhadap bencana secara umum.

Selain itu, di luar bencana sebelumnya, tidak ada informasi tentang bagaimana individu dengan ASD dipengaruhi oleh pandemi. Secara khusus, dampak dari perubahan gaya hidup global yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 pada populasi autisme tidak diketahui. Mengingat profil spesifik mereka tentang kesulitan interaksi sosial, perilaku terbatas dan berulang, dan memiliki pendidikan khusus sebagai satu-satunya intervensi yang divalidasi, individu dengan ASD kemungkinan menghadapi kesulitan melebihi yang dialami oleh populasi umum, dan implikasi psikologis, fisiologis, dan sosial lainnya untuk populasi ini, yang menjadi fokus penyelidikan saat ini.

Pandemi mirip dengan bencana lain dalam ketidakpastian, kematian, dan efek yang terus-menerus, namun, mereka terpisah dari bencana karena mencegah korban untuk berkumpul dan berkumpul dan sebaliknya membutuhkan reaksi yang berlawanan dari pemisahan, isolasi, dan karantina, yang akhirnya mengganggu norma dan ritual keluarga yang umumnya melindungi fungsi keluarga selama krisis.

Ritual semacam itu sangat relevan dengan populasi ASD, di mana perilaku dan minat yang berulang merupakan ciri yang menentukan dari kondisi tersebut dan individu yang terkena dampak mematuhi ritual harian yang kaku. Di luar konsekuensi kesehatan dan kematiannya, pandemi penyakit menular cenderung menyebabkan kecemasan yang meluas dan masalah psikologis.

Pandemi saat ini, Covid-19, telah dinyatakan sebagai darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional oleh Organisasi Kesehatan Dunia. Sebuah studi baru-baru ini menemukan gejala anak-anak dengan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) memburuk secara signifikan selama wabah Covid-19 dan menekankan perlunya fokus pada populasi rentan khusus selama pandemi. 

Meskipun tidak ada penelitian semacam itu untuk individu dengan ASD selama Covid-19, faktor risiko terkait Covid-19 Zhang et al. berspekulasi untuk anak-anak dengan ADHD tampaknya berlaku untuk individu dengan ASD juga, terutama hilangnya rutinitas sehari-hari, ketidakmampuan untuk mengakses dan menerima perawatan dari pengaturan perawatan primer, dan meningkatnya kekhawatiran orang tua memperburuk kesejahteraan psikologis anak-anak dan meningkatkan masalah perilaku mereka.

ASD ditandai dengan gangguan dalam komunikasi sosial dengan area minat yang terbatas dan berulang, yang dimulai pada masa kanak-kanak dan biasanya tetap seumur hidup. Menurut tingkat kejadian terbaru, itu mempengaruhi 1 dari 54 orang. Sebagian besar pasien juga memiliki disabilitas intelektual komorbid dan kondisi kejiwaan lainnya seperti ADHD, gangguan kecemasan, gangguan gangguan/kontrol impuls/perilaku, gangguan depresi, dan gangguan obsesif-kompulsif. 

Dokter anak perkembangan Sharon Smile menganggap anak-anak dan remaja dengan ASD "rentan terhadap efek isolasi dan karantina yang berkepanjangan dan mungkin mengalami kesulitan beradaptasi dengan bentuk baru ini, terutama karena ketidakfleksibelan dan desakan pada kesamaan adalah ciri khas dari gangguan ini" dan menyoroti kebutuhan untuk program yang mudah dilaksanakan yang memenuhi kebutuhan anak-anak dengan ASD dan keluarganya. 

Salah satu program tersebut dijelaskan di Italia, di mana setelah orang tua dari anak-anak dengan ASD melaporkan anak-anak mereka tidak lagi puas dengan penguat biasa mereka, menjadi semakin tidak kooperatif, dan menampilkan tingkat stereotip dan perilaku bermasalah yang tinggi, peneliti merumuskan protokol melalui pengamatan dan diskusi mereka dengan orang tua. 

Anak-anak interaktif verbal menerima bimbingan dan orang tua dari anak-anak usia prasekolah dan minimal verbal menerima pembinaan orang tua. Karena mereka belum menganalisis data mereka, efektivitas atau mediatornya tidak diketahui. Meskipun demikian, makalah ini menyoroti beberapa tantangan potensial yang disebabkan oleh kondisi pandemi saat ini pada populasi ASD dan intervensi awal berusaha untuk meringankan beberapa tantangan ini. Makalah relevan lainnya adalah editorial yang menyajikan 10 tips untuk membantu orang tua dan pengasuh anak kecil dengan ASD selama masa tinggal di rumah Covid-19.

Tidak banyak yang diketahui tentang efek dari perubahan terkait Covid-19 yang diciptakan dalam kondisi kehidupan pada individu dengan diagnosis ASD. Pengalaman klinis kami dan umpan balik yang kami terima dari pasien dan pengasuh mereka menunjukkan adanya kesulitan tertentu yang dialami selama pandemi oleh populasi ini. Kesulitan-kesulitan ini dapat diklasifikasikan dalam empat subkelompok. Pertama, individu dengan ASD tampaknya memiliki pemahaman dan pengetahuan yang berbeda tentang Covid-19 dibandingkan dengan teman sebayanya. 

Hal ini dapat dijelaskan dengan perbedaan pemikiran abstrak, seperti memahami konsep Covid-19 yang tidak terlihat dan tidak konkret, pemahaman tentang potensi ancaman kesehatan termasuk kematian, dan penalaran terkait membutuhkan pemikiran abstrak. Oleh karena itu, individu dengan ASD mungkin tidak dapat memahami, mengikuti, dan mengambil manfaat dari metode pencegahan dasar yang diformulasikan untuk populasi umum, yang mungkin tidak dapat diterapkan atau menantang untuk kelompok ini. 

Contoh yang kami amati adalah tantangan khusus dengan menjaga jarak sosial dan menoleransi durasi yang lama dalam isolasi rumah. Hal ini dikuatkan dalam artikel baru-baru ini yang ditulis oleh seorang peneliti dengan ASD yang menyoroti pentingnya dukungan bagi individu dengan ASD untuk mengatasi ketidakpastian dan kecemasan Covid-19 sambil mencatat tidak adanya dukungan sosial dan profesional karena langkah-langkah jarak sosial. , dan potensi konsekuensi kesehatan mental dari berkurangnya akses ke jaringan dukungan mereka yang sudah minim.

Kedua, individu dengan ASD sangat terikat untuk rutinitas sehari-hari, dan proses isolasi dapat mengganggu mereka dengan mengubah rutinitas mereka, seperti pergi ke sekolah atau pendidikan khusus pada waktu tertentu. Ketiga, gejala dan gangguan perilaku individu dengan ASD dapat diperkirakan meningkat karena gangguan intervensi perilaku dan pendidikan intensif yang efektif dalam menciptakan perubahan positif dalam domain tersebut. Kesulitan ini diperkirakan akan semakin penting karena pandemi diperkirakan akan berlanjut untuk beberapa waktu.

Interupsi dalam intervensi perilaku dan pendidikan dapat meningkatkan gejala ASD dan masalah perilaku individu dengan ASD. Terakhir, pengasuh anak-anak dengan ASD mengalami tingkat stres dan kecemasan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengasuh anak-anak yang biasanya berkembang. Dukungan sosial terbukti menjadi faktor pelindung terhadap stres pada orang tua dari anak-anak dengan ASD, di mana dukungan dari teman muncul sebagai faktor yang paling penting, dan dukungan dari orang lain dan keluarga yang signifikan pelindung kurang kuat. 

Dukungan sosial dari teman-teman yang sangat penting untuk perlindungan stres pada pengasuh pada anak-anak dengan ASD ini kemungkinan menjadi kurang tersedia selama tindakan isolasi sosial Covid-19.

 Selain itu, orang tua dari anak-anak dengan ASD ditemukan menunjukkan respons kortisol yang lebih tinggi terhadap stres psikososial dibandingkan dengan orang tua dari anak-anak yang biasanya berkembang dan peningkatan reaktivitas fisiologis ini terhadap stres psikososial akut dapat menyebabkan orang tua dari anak-anak dengan ASD mengalami lebih banyak stres selama Covid-19. pandemi dibandingkan dengan orang tua dari anak-anak yang biasanya berkembang, yang mungkin bahkan lebih diperparah dengan meningkatnya masalah perilaku dan tantangan terkait karantina anak-anak mereka dengan ASD. 

Oleh karena itu, tingkat stres dan kecemasan orang tua serta kesulitan yang dialami oleh anak-anak termasuk namun tidak terbatas pada masalah perilaku dapat saling memperburuk selama pandemi.

Di sisi lain, beberapa situasi terkait Covid-19 dapat ditangani dengan lebih mudah oleh beberapa anak dengan ASD dan keluarga mereka. Kepatuhan yang lebih tinggi terhadap aturan dan rutinitas dan keengganan sosialisasi dan kontak fisik pada individu dengan ASD dapat memfasilitasi langkah-langkah kebersihan yang diamanatkan seperti sering mencuci tangan atau menghindari kontak fisik dengan orang atau permukaan. Risiko kelebihan sensorik dapat diturunkan karena anak-anak akan lebih jarang keluar rumah karena tindakan pengurungan di rumah. 

Dalam studi kualitatif terbaru mereka pada anak berkebutuhan khusus, yang mayoritas memiliki ASD, dan orang tua mereka, Asbury et al. menemukan bahwa sebagian kecil peserta melaporkan beberapa dampak positif dari karantina, seperti tidak mengalami tantangan rutinitas sehari-hari seperti pergi ke sekolah atau tempat umum lainnya atau kecemasan bersosialisasi dengan orang lain. Namun, kekuatan terkait ASD untuk menangani langkah-langkah Covid-19 ini cenderung terbatas dan tidak mengimbangi tantangan yang muncul.

Berdasarkan pengamatan klinis kami bersama dengan laporan dan temuan sebelumnya, kami telah melakukan salah satu studi paling awal sejauh pengetahuan kami tentang efek perubahan kehidupan terkait Covid-19 pada individu dengan ASD. Kami berhipotesis bahwa individu dengan ASD akan memiliki pemahaman yang buruk tentang Covid-19 dan tindakan terkait. 

Hipotesis kedua kami adalah bahwa gejala ASD mereka dan masalah perilaku terkait, sensitivitas sensorik, dan pola tidur akan memburuk selama pandemi. Hipotesis terakhir kami adalah bahwa tingkat kecemasan pengasuh mereka akan meningkat selama pandemi.

Upaya Untuk Membantu Autisme Dalam Menanggulangi Bencana

Anak autis lebih bergantung pada orang lain dalam kondisi darurat, ketergantungan terhadap orang lain serta minimnya kemampuan dalam menghadapi bencana ataupun musibah kerap menimbulkan anak autis menjadi pasif serta pasrah terhadap orang, permasalahan tersebut yang membuat mereka rentan menjadi korban. Maka perlu adanya tindakan untuk menolong anak autis dalam menyelamatkan diri. Ada pula upaya untuk membantu autism dalam menanggulangi bencana adalah:

  • Pemerintah: memberi perhatian dalam bentuk bantuan baik materil dan fasilitas seperti sandang, pangan dan papan sementara waktu sampai keadaan pulih. Dan memenuhi segala kebutuhan seperti dapur umum, wc umum, dan tenda darurat.
  • Masyarakat: memberikan penguatan, perhatian dan perlakuan yang sama kepada seorang autism tersebut agar ia tidak merasa terasingkan atau merasa beda.
  •  Intelek: memberikan dukungan moril berupa bimbingan khusus, penyuluhan, dan arahan atau berbagai upaya yang dapat memberikan rasa penenang dan penghilang trauma pasca bencana.

Upaya Untuk Membantu Autisme Dalam Memitigasi Bencana

Selanjutnya memitigasi bencana pada seseorang dengan autisme harus dimulai dari anak anak yakni dengan memberikan program kurikulum edukasi terkait bencana di sekolah luar biasa.  Salah satu upaya pemerintah dalam mengurangi risiko bencana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang harus diintegrasikan dalam program pembangunan, termasuk bidang pendidikan. 

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara jelas menyatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam mengurangi resiko bencana Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa Indonesia rentan terhadap bencana Namun  Pengetahuan tentang pengurangan bencana belum secara khusus diintegrasikan dalam kurikulum Indonesia. (Indriasari et al., 2018)

Pendidikan kesadaran bencana dapat dilakukan sejak dini melalui pendidikan kesiapsiagaan bencana di sekolah sehingga anak-anak dapat mengetahui cara-cara untuk menghindari mereka dari bahaya saat terjadi bencana. Pendidikan kesadaran bencana dapat dimulai pada usia sekolah dasar karena menurut teori Piaget, anak pada usia ini berada pada fase operasional konkrit. 

Sekolah yang lebih aman diperlukan untuk melindungi keselamatan anak-anak selama bencana. Konsep keselamatan sekolah tidak hanya terbatas pada pencegahan runtuhnya bangunan saat terjadi bencana, dan keselamatan guru dan siswa, tetapi juga mengarah pada sesuatu yang lebih besar -- manajemen risiko bencana -- karena anak-anak memegang peran sebagai generasi penerus. 

(Pusat Pembangunan Regional Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2009). Anak berkebutuhan khusus dan disabilitas merupakan kelompok yang paling rentan pada saat terjadi bencana. Beberapa dari mereka memiliki hambatan mobilitas untuk melakukan perlindungan diri dan melarikan diri secara mandiri, oleh karena itu, informasi tentang prosedur atau rencana penyelamatan untuk Anak Berkebutuhan Khusus dan Disabilitas, yang melibatkan orang-orang di sekitar (misalnya guru, teman sekelas, staf sekolah), sangat penting (Indriasari et al., 2018).

Autisme merupakan gangguan perkembangan saraf, mental, atau perilaku yang disebabkan karena kondisi medis, genetik,  yang menyebabkan berbagai macam maslah yang menyakiti dirinya sendiri serta sulit untuk berinterkais dengan orang lain. Autis juga kesulitan dalam mengotnrol diri yang mana ia membutuhkan bantuan dari orang lain dalam menjalani sebuah masalah khususnya dalam mengahadapi bencana alam. Orang autis apabila mereka sendirian akan mengalami stres dan kesulitan untuk menolong dirinya sendiri sehingga orang tersebut membutuhkan bantuan dari orang dekat dan dipercaya untuk bisa bergerak. Oleh karena itu, perlu adanyaa bantuan dari orang-orang terdekat serta pemerintah untuk menolong orang autis untuk bisa mengahadapi bencana alam.

Disusun oleh (*):

  • Adittheo Pratama
  • Diah Amaliah Sholihah
  • Khairunnisa
  • Meira Fenderissa
  • Muhammad Iqbal
  • Wina Aulia
  • Radika Mailana

*Mahasiswa Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

########################

Daftar Pustaka:

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (DSM-V). (5Th Ed.). American Psychiatric Publishing.

Asbury, K., Fox, L., Deniz, E., Code, A., & Toseeb, U. (2021). How is COVID-19 affecting the mental health of children with special educational needs and disabilities and their families?. Journal of Autism and Developmental Disorders, 51(5), 1772-1780. https://doi.org/10.1007/s10803-020-04577-2

Baio, J., Wiggins, L., Christensen, D. L., Maenner, M. J., Daniels, J., Warren, Z., ... & Dowling, N. F. (2018). Prevalence of autism spectrum disorder among children aged 8 years—autism and developmental disabilities monitoring network, 11 sites, United States, 2014. MMWR Surveillance Summaries, 67(6), 1. https://dx.doi.org/10.15585%2Fmmwr.ss6706a1

Degli Espinosa, F., Metko, A., Raimondi, M., Impenna, M., & Scognamiglio, E. (2020). A model of support for families of children with autism living in the COVID-19 lockdown: Lessons from Italy. Behavior Analysis in Practice, 13, 550-558. https://doi.org/10.1007/s40617-020-00438-7  

den Houting, J. (2020). Stepping out of isolation: Autistic people and COVID-19. Autism in Adulthood, 2(2), 103-105. https://doi.org/10.1089/aut.2020.29012.jdh

Drogomyretska, K., Fox, R., & Colbert, D. (2020). Brief Report: Stress and Perceived Social Support in Parents of Children with ASD. Journal of Autism & Developmental Disorders, 50(11). https://doi.org/10.1007/s10803-020-04455-x

Otu, A., Charles, C. H., & Yaya, S. (2020). Mental health and psychosocial well-being during the COVID-19 pandemic: The invisible elephant in the room. International Journal of Mental Health Systems, 14, 1-5.  https://doi.org/10.1001/jamapsychiatry.2020.0894 

Edmonds, C. O. (2017). Designing emergency preparedness resources for children with autism. International Journal of Disability, Development and Education, 64(4), 404-419. https://doi.org/10.1080/1034912X.2016.1264577 

Indriasari, F. N., & Widyarani, L. (2018). Disaster Risk Reduction and Emergency Preparedness for Children With Autism in Facing Earthquake Disaster in Yogyakarta. JMMR (Jurnal Medicoeticolegal dan Manajemen Rumah Sakit), 7(1), 52-59. https://doi.org/10.18196/jmmr.7156

Hallahan, D. P., Kauffman, J. M., & Pullen, P. C. (2013). Exceptional learners: Pearson new international edition: An introduction to special education. (12th ed). Pearson Higher Ed.

Indriasari , f. n., widyarani, l., & kusuma, p. d. (2018). Pengaruh pemberian terapi bermain terhadap pembelajaran mitigasi. Media Ilmu Kesehatan, 7(3).

Islami, h. n. (2019). Pengetahuan dan keterampilan anak autis dalam menyelamatkan diri dari bencana gempa bumi melalui terapi bermain. (Skripsi, Universitas Negeri Semarang). https://lib.unnes.ac.id/34091/

Lai, M. C., & Baron-Cohen, S. (2015). Identifying the lost generation of adults with autism spectrum conditions. The Lancet Psychiatry, 2(11), 1013-1027. https://doi.org/10.1016/S2215-0366(15)00277-1

Liu, J. J., Bao, Y., Huang, X., Shi, J., & Lu, L. (2020). Mental health considerations for children quarantined because of COVID-19. The Lancet Child & Adolescent Health, 4(5), 347-349. https://doi.org/10.1016/S2352-4642(20)30096-1

Minshew, N. J., Meyer, J., & Goldstein, G. (2002). Abstract reasoning in autism: A disassociation between concept formation and concept identification. Neuropsychology, 16(3), 327.  https://psycnet.apa.org/doi/10.1037/0894-4105.16.3.327

Mujiyanti, D. M. (2011). Tingkat pengetahuan ibu dan pola konsumsi pada anak autis di Kota Bogor. (Skripsi., Institut Pertanian Bogor). Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

Narzisi, A. (2020). Handle the autism spectrum condition during Coronavirus (COVID-19) stay at home period: Ten tips for helping parents and caregivers of young children. Brain sciences, 10(4), 207. https://doi.org/10.3390/brainsci10040207

National Autism Center National Standards Project, Phase 2. (2015). Available online at: https://www.nationalautismcenter.org/national-standards-project/phase-2/ (accessed August 18, 2020).

Pattini, E., Carnevali, L., Troisi, A., Matrella, G., Rollo, D., Fornari, M., & Sgoifo, A. (2019). Psychological characteristics and physiological reactivity to acute stress in mothers of children with autism spectrum disorder. Stress and Health, 35(4), 421-431. https://doi.org/10.1002/smi.2870

Prabawa, M. S., Indriani, W., & Dewiyanti, H. (2019). Mitigasi Spasial terhadap Bencana Sosial di Permukiman Johar Baru, Jakarta Pusat. Jurnal Arsitektur ZONASI, 2(1), 46-55.

Smile, S. C. (2020). Supporting children with autism spectrum disorder in the face of the COVID-19 pandemic. CMAJ, 192(21), E587-E587.  https://doi.org/10.1503/cmaj.75399

Sprang, G., & Silman, M. (2013). Posttraumatic stress disorder in parents and youth after health-related disasters. Disaster medicine and public health preparedness, 7(1), 105-110. https://doi.org/10. 10.1017/dmp.2013.22 

Valenti, M., Ciprietti, T., Di Egidio, C., Gabrielli, M., Masedu, F., Tomassini, A. R., & Sorge, G. (2012). Adaptive response of children and adolescents with autism to the 2009 earthquake in L’Aquila, Italy. Journal of autism and developmental disorders, 42(6), 954-960.  https://doi.org/10.1007/s10803-011-1323-9

World Health Organization WHO Director-General's Statement on IHR Emergency Committee on Novel Coronavirus (2019-nCoV). (2020). Available online at: https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general-s-statement-on-ihr-emergency-committee-on-novel-coronavirus-(2019-ncov)#.XrwxQJ0aVqI.link (accessed August 18, 2020).

Yulianto, S., Apriyadi, R. K., Aprilyanto, A., Winugroho, T., Ponangsera, I. S., & Wilopo, W. (2021). Histori Bencana dan Penanggulangannya di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Keamanan Nasional. PENDIPA Journal of Science Education, 5(2), 180-187.

Zhang, J., Shuai, L., Yu, H., Wang, Z., Qiu, M., Lu, L., ... & Chen, R. (2020). Acute stress, behavioural symptoms and mood states among school-age children with attention-deficit/hyperactive disorder during the COVID-19 outbreak. Asian journal of psychiatry, 51, 102077.  https://dx.doi.org/10.1016%2Fj.ajp.2020.102077

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun