Kasus salah tangkap atau error in persona masih menjadi masalah serius dalam penegakan hukum di Indonesia. Tak jarang, individu yang tak bersalah harus menanggung stigma sosial, trauma psikologis, bahkan kerugian ekonomi, akibat kelalaian aparat penegak hukum dalam menjalankan prosedur. Persoalan inilah yang diangkat oleh Entin Shafiyah, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang, dalam skripsi berjudul "Analisis Perkara Pidana dalam Kasus Salah Tangkap Pelaku Tindak Pidana."
Viktimologi dalam Bingkai Hukum Acara
Entin menyoroti salah tangkap dari perspektif viktimologi, yakni bagaimana korban mengalami kerugian material maupun immaterial, serta bagaimana mekanisme hukum bekerja, atau justru gagal bekerja, untuk memulihkan hak-hak mereka. Dengan pendekatan normatif-yuridis, penelitian ini menelaah peraturan perundangan, putusan pengadilan, hingga studi kasus salah tangkap yang pernah mengemuka, salah satunya perkara pengamen Cipulir yang menimbulkan luka panjang bagi korban.
Temuan Penting: Kerugian dan Peran Bukti
Analisis yang dilakukan menemukan beberapa poin penting. Pertama, korban salah tangkap menghadapi kerugian riil: dari stigma masyarakat hingga trauma mendalam, apalagi jika yang ditangkap masih anak-anak. Kedua, alat bukti yang paling krusial sering kali terletak pada keterangan saksi dan kesesuaian prosedur penyidikan dengan KUHAP. Sementara itu, bukti surat atau keterangan ahli hanya berfungsi melengkapi, namun tak selalu menutup celah kesalahan prosedural.
Tak kalah penting, peran lembaga bantuan hukum seperti LBH dan LPSK sangat vital dalam mendampingi korban untuk memperjuangkan restitusi, kompensasi, maupun ganti rugi. Namun, akses terhadap pendampingan tersebut kerap terkendala oleh birokrasi dan keterbatasan layanan.
Akar Masalah dan Risiko Sosial
Entin juga menyoroti akar masalah yang berulang: lemahnya profesionalisme penyidik, pelanggaran asas praduga tak bersalah saat tindakan paksa dilakukan, hingga kesalahan hakim dalam menimbang fakta persidangan. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap aparat hukum terkikis dan berisiko memunculkan praktik main hakim sendiri.
Saran untuk Pembaruan Hukum
Dalam kesimpulannya, Entin menawarkan beberapa rekomendasi. Di antaranya, perlunya edukasi hukum kepada masyarakat tentang hak tersangka dan korban, peningkatan profesionalisme aparat penyidik dan jaksa, serta penguatan peran LPSK termasuk membuka kantor perwakilan di daerah. Tak kalah penting, pemerintah dan aparat hukum harus memastikan mekanisme restitusi dan kompensasi berjalan efektif sesuai undang-undang.
Korban sebagai Pusat Keadilan dan SDGs
Studi ini menempatkan korban salah tangkap sebagai pusat analisis, mengimbau agar penegakan hukum tak hanya mengejar efek jera terhadap pelaku, tetapi juga menjamin pemulihan dan keadilan bagi korban.
Secara lebih luas, penelitian ini beririsan dengan agenda Sustainable Development Goals (SDGs). Pertama, dengan menegaskan hak korban salah tangkap, penelitian ini mendukung SDG 16: Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh, yang menekankan akses keadilan bagi semua orang. Kedua, dengan mendorong penguatan peran lembaga pendamping korban, penelitian ini turut berkontribusi pada SDG 10: Berkurangnya Ketidaksetaraan, karena kelompok rentan sering menjadi pihak paling dirugikan dalam salah tangkap. Ketiga, upaya edukasi hukum kepada masyarakat selaras dengan SDG 4: Pendidikan Berkualitas, khususnya dalam aspek literasi hukum.
Skripsi Entin Shafiyah menjadi pengingat bahwa keadilan bukan hanya tentang menghukum yang bersalah, tetapi juga memastikan yang tak bersalah tidak ikut menjadi korban sistem. (Ening Widi)
lib.unimma.ac.id
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI