Mohon tunggu...
ummi hasanah
ummi hasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

Berusaha melatih diri untuk terus menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Perihal Diri Sendiri

30 Maret 2023   17:41 Diperbarui: 30 Maret 2023   17:42 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bang Ucok yang duduk diam di balik kemudi hanya bisa menatap anak majikannya prihatin dari kaca spion depan. Ia tidak tega, namun juga tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa berdoa, semoga Tuhan melihat bagaimana tangis hambanya yang teraniaya lantas memberi balasan yang setimpal setelahnya.

"Neng, bang Ucok keluar dulu, ya? Sebentar lagi benderanya mau naik, Abang mau kasih hormat dulu. Neng Lian kalau mau tetep di dalam juga gak apa-apa." Bang Udin benarbenar pergi setelah berpamitan. Ia ragu ingin keluar atau tetap menemani. Namun ia memutuskan untuk keluar sejenak. Hari ini adalah hari kemerdekaan, hari yang memperingati bagaimana hebatnya perjuangan para pahlawan. Meskipun saat ini di negerinya penuh kebodohan dan pengkhianatan, bukan berarti ia harus meninggalkan.

Meskipun tidak bisa berjuang melawan ketidakadilan, setidaknya ia akan berdoa kepada Tuhan agar surga di negerinya tetap abadi sampai ujung masa.

Lian termenung di dalam mobil, ia melihat Bang Ucok yang keluar dari mobil lantas berdiri menghadap ke arah bendera merah putih yang akan dikibarkan. Disampingnya ada seorang anak kecil yang juga berdiri menghadap ke arah yang sama, ia melepas kardus tempat minuman dan makanan yang ia jual dari lehernya, meletakkannya di samping kaki lantas kembali menghadap kearah lapangan. Di sampingnya lagi ada seorang nenek tua bersama seorang pemuda yang baru saja keluar dari masjid ketika bendera hendak dikibarkan. Mereka bersiap untuk memberikan sebuah penghormatan.

Menyaksikan semua itu membuat Lian terkekeh sembari menghapus setetes air mata yang baru saja terjatuh dari sudut matanya. Ternyata dirinya payah.  Ternyata dirinya belum bisa menjadi rakyat yang mencintai negerinya dengan penuh. Hanya karena satu masalah kecil, ia sudah menyerah sembari berkeluh susah. Tidak tahukah ia dengan perjuangan para pahlawan dulu? Tidak  pahamkah ia bahwa sejak dulu kala memang ketidakadilan merebak dimana-mana? Tidak malukah ia dengan orang-orang yang mungkin juga telah mengalami berbagai ketidakadilan di negerinya---atau bahkan lebih, namun tetap teguh untuk memberikan penghormatan pada seluruh pengorbanan?

Oh Tuhan, maafkan Lian... 

Para pahlawan, maafkan Lian... 

Lian berjanji tidak akan berlaku seperti ini lagi, ketidakadilan memang akan terus ada entah sampai kapan. Namun, sekarang Lian mengerti bahwa perihal ketidakadilan itu tidak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan negeri, tidak boleh dijadikan sebab untuk melupakan segala jasa pahlawan. Karena ini bukan hanya perihal mencintai diri sendiri. 

Namun, juga ada Bhinneka yang harus dimaklumi, dimengerti, dan dicintai. 

Iya, sekarang Lian mengerti.

-Selesai-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun