Ajaran ini tercermin indah di Candi Borobudur. Pada relief bagian dasar, lebih dari sepertiga panel menggambarkan tindakan memberi (dna). Mengapa? Karena memberi adalah latihan paling sederhana untuk melepas ego.
Seorang raja bisa memberi harta berlimpah, tapi sering masih terikat pada kebanggaan. Sebaliknya, seorang pengemis yang rela berbagi sebutir nasi justru benar-benar melampaui rasa kepemilikan. Memberi melatih kita untuk berkata: "Ini bukan milikku, ini bukan aku."
Ego Tidak Bisa Dihancurkan, Hanya Dilihat
Ego bukan musuh. Ia hanyalah cara otak melindungi kita, mencatat pengalaman, menjaga identitas. Masalahnya, ego menganggap semua itu permanen, padahal tidak.
Ego tak perlu dihancurkan. Cukup disadari. Ketika kita melihatnya dengan jernih, ia seperti bayangan asap: tak bisa digenggam, tapi juga tak lagi menipu.
Borobudur: Dari Memberi ke Keheningan
Borobudur adalah peta perjalanan batin. Perjalanan dimulai dari dasar Karmawibhangga---belajar memberi, belajar melepaskan. Naik setingkat demi setingkat, kita diajak melampaui cerita, melampaui bentuk.
Di puncaknya berdiri stupa kosong. Tidak ada patung, tidak ada simbol, hanya keheningan. Itulah tujuan akhir: bukan lagi melepaskan harta, melainkan melepaskan "aku."
Hidup Tanpa Aku
Tanpa ego, kita tetap bekerja, mencinta, dan berkarya. Bedanya, kita tidak lagi terbebani suara batin yang berkata "saya gagal," "saya tidak cukup baik," "saya harus diakui."
Bayangkan seorang pelukis yang melukis sepenuh hati, tanpa memikirkan pujian atau kritik. Ia bukan "pelukis," ia hanyalah proses melukis itu sendiri.