Kadang, percakapan sederhana bisa jadi awal yang baik. Misalnya, ketika anak berkata, "Aku lihat di TikTok, katanya minum air es bikin gemuk." Daripada langsung membantah, orangtua bisa bertanya, "Menurutmu, kenapa dia bilang begitu? Ada bukti atau penjelasannya nggak?"Â Pertanyaan-pertanyaan ringan seperti ini mengajak anak berpikir, bukan sekadar percaya.
Ya, menjadi orangtua di era digital bukan berarti harus lebih pintar dari algoritma, tapi sebaiknya harus lebih sabar dari rasa ingin tahu anak. Karena lewat kesabaran itu, kita bisa menanamkan satu hal penting yang tak akan mereka dapatkan dari media sosial, yakni kebijaksanaan.
Saya lanjutkan ke bagian kedua, ya. Ini bagian yang membuat saya tertegun ...
Orangtua Menjadi Pilihan Kedua (atau Ketiga)
Benar, ini adalah bagian yang paling menyentuh, dan kalau boleh dibilang: agak menyakitkan bagi banyak orangtua. Zaman saya dulu, anak-anak mencari jawaban pertama-tama dari kita, orangtua (atau siapa pun yang lebih tua): "Mengapa langit biru?", "Kenapa manusia harus jujur?", "Kenapa Tuhan tidak terlihat?" Sekarang, mereka cukup mengetik di Google atau bertanya pada ChatGPT... (ironis memang, tapi begitulah kenyataannya). Dalam hitungan detik, mereka mendapat jawaban yang tampak lengkap, menarik, bahkan sangat meyakinkan.
Masalahnya, jawaban itu tidak selalu memperhatikan siapa mereka, bukan? Algoritma tidak mengenal kepribadian anak saya, tidak tahu apa yang sedang ia takutkan, atau bagaimana latar belakang keluarganya. Hanya orangtua yang tahu itu. Tapi sayangnya, banyak anak kini merasa lebih nyaman membuka gawai daripada membuka percakapan.
Ada anak yang memilih diam karena takut dikatakan "terlalu kritis." Ada juga yang menghindar karena merasa orangtuanya tak akan mendengarkan. Akibatnya, ruang dialog dalam keluarga makin menyempit, digantikan dengan notifikasi dan scroll tanpa akhir.
Coba deh kalau sedang di rumah makan, perhatikan meja makan yang sedang terisi oleh orangtua dengan entah satu, dua, atau tiga anaknya: hampir semuanya sedang pegang gawai, bukan? Tanda ruang dialog makin sempit, dan bisa jadi Anda, dan saya sebagai orangtua yang justru menyebabkannya!
Karena itu, sebaiknya tugas orangtua bukan sekadar menjadi penyaring informasi, tetapi pembangun kepercayaan. Anak perlu tahu bahwa rumahnya adalah tempat paling aman untuk bertanya dan ragu (= mencari kejelasan). Kadang, mereka tidak butuh jawaban cepat, hanya butuh telinga yang mau mendengar tanpa menghakimi. Baca juga: Anakmu Butuh Didengarkan!
Coba bayangkan jika setiap kali anak kita berkata, "Aku lihat di YouTube katanya..." lalu kita menjawab dengan, "Wah, menarik ya. Coba ceritain lebih lanjut." Kalimat sederhana itu bisa menjadi pintu dialog yang menumbuhkan kepercayaan. Dari situlah, perlahan anak akan belajar bahwa mencari kebenaran tidak harus sendirian.
Yuk, marilah mulai dengan langkah kecil ini, siapa tahu saya dan barangkali Anda sebagai orangtua tidak akan tertegun lagi hehe...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI