Sejak kecil, dua kata ini sering diajarkan sebagai bagian dari sopan santun: maaf dan terima kasih.
Keduanya terdengar ringan, hanya terdiri dari beberapa huruf, tapi memuat makna yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Mereka adalah penanda bahwa manusia bisa saling memahami dan menghargai. Namun, di tengah dunia yang serba cepat dan sibuk ini, dua kata itu makin jarang terdengar.
Orang-orang terburu-buru, urusan datang silih berganti, dan interaksi antarindividu makin minim jeda untuk refleksi. Semua serba otomatis. Seseorang membantu, tapi tak diberi apresiasi. Seseorang menyakiti, tapi tak merasa perlu minta maaf. Semua berlalu begitu saja. Hal kecil yang dulu dianggap penting, sekarang sering dianggap sepele.
Mungkin karena merasa sudah akrab, sudah saling mengerti, atau sekadar mengira semua akan baik-baik saja tanpa perlu diucapkan. Padahal, dua kata itu bukan hanya tentang sopan santun, tapi soal rasa. Soal perhatian kecil yang justru menjaga hubungan tetap hangat.
Maaf adalah bentuk keberanian. Bukan hanya mengakui kesalahan, tapi juga menurunkan ego.
Terima kasih adalah bentuk penghargaan. Sebuah pengakuan bahwa waktu, tenaga, atau perhatian seseorang patut dihargai.
Tanpa dua hal itu, relasi apa pun keluarga, pertemanan, bahkan kerja, perlahan terasa kosong. Sayangnya, budaya gengsi dan komunikasi singkat makin mendominasi. Di dunia digital, maaf sering kali digantikan pembenaran diri. Terima kasih diganti dengan emoji tangan lipat atau tulisan "makasii" yang dilempar asal-asalan.
Ada pergeseran dari yang dulu tulus menjadi simbolis. Dari yang dulu bermakna menjadi formalitas yang kadang terasa hampa. Sementara itu, banyak orang sebenarnya menyimpan kecewa. Pernah membantu, tapi tak dianggap. Pernah disakiti, tapi tak pernah didengarkan.
Budaya minta maaf dan terima kasih bukan tradisi yang harus dihafal, melainkan kesadaran yang harus dipelihara. Di tengah hiruk-pikuk hidup modern, manusia tetap butuh rasa dihargai dan dimanusiakan. Dan rasa itu, sering kali, cukup dimulai dari dua kata sederhana. Mereka tak hanya menutup percakapan, tapi juga membuka hati. Bukan hanya tentang kesopanan, tapi tentang kemanusiaan.
Barangkali, sudah waktunya untuk mulai memperbaiki kembali cara berinteraksi. Bukan dengan hal besar, cukup dari dua kata kecil yang mungkin sudah lama tak terucap. Karena budaya itu tak akan hidup, kalau tidak dihidupkan bersama-sama.