Mohon tunggu...
mjihadhikami
mjihadhikami Mohon Tunggu... Duta Besar - pelajar

hidup sekali hidup lah yang berarti sekali hidup jangan takut mati takut hidup mati saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suara Hati yang Retak

1 September 2020   09:07 Diperbarui: 1 September 2020   09:06 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dengan menyebut nama Tuhan yang telah memberikan kesehatan serta kehidupan yang bertujuan beribah hanya kepadanya. Serta alam semesta dan organ-organ tubuh manusia menjadi bukti nyata dengan adanya kekuasaaan yang tanpa awal mula. Sungguh engkaulah yang tak kasat mata namun terasa dengan hadirnya para ulama.

Hari terus berjalan dan waktu terus berputar, kehidupan yang hanya begitu saja serasa hambar, tanpa ada racikan bumbu yang ambyar. Ini sebuah cinta bukan sekedar cerita, cinta ga meluluh tentang ceria, juga bukan hanya tentang wanita ataupun pria. Ia dibutuhkan karena pengaruh dan rasa yang ditimbulkan, cinta juga membantu seseorang sampai kepada kebenaran dan kebahagiaan.

Manusia tanpa cinta seolah kehidupan tanpa warna. Rasa kasih tidak dapat terkasih, rasa sayang dan disayangi hanya haluan seseorang, dan jalanan menjadi redup tak ada jalan untuk kehidupan. Itula beberapa rasa yang telah terasa oleh saya. Terkadang mengendap sendiri diam dalam sepi beserta kopi yang menemani sehari-hari, selalu ada rasa kejenuhan, kegelisahan, dan kehilangan apa yang dinginkan tanpa ada pengorbanan. Sungguh kasihan.

Raut wajah yang kusam tak beraturan, emosional yang berujung dengan kemarahan, serta retorika pembicaraan yang tak sesuai. Hamparan debu serta hembusan angin saat malam itu menerka tertawa kepada kita, setiap hari, setiap berkomunikasi sungguh tak rasional dengan sebuah retorika pembicaraan yang takaruan. Bulan dan matahari menjadi saksi atas setiap perkataan yang keluar dari pembicaraan kita, yang berujung emosi dan penuh teka-teki.

Rasa ini menjadi beku, kaku, dan ragu. Kau sama sekali tak peduli, kau hanya melulu tentang sufi, hingga aku tersingkiri. Kau ini bagaimana, sebuah rumah baru yang kau tempati, seharusnya kau syukuri, namun kau hanya pergi tak Kembali. Aku harus bagaimana, seorang anak yang tanpa komunikasi, tersangka dengan tuduhan-tudahan yang tak berideologi. Kau ini kurang motivasi atau kurang asumsi? Tuduhanmu sama saja dengan perilakumu.

Fikiranku hanya menyalahkanmu saja, kau diam tanpa suara, suara yang tak pernah sekali ku dengar nada merdunya. Untung saja aku mempunyai literasi yang tak memutuskan untuk mati. Sudahi saja sudah, kau gila dengan kepemimpinan lingkup kecilmu, kau ini harus bertanggung jawab, bukan hanya menjawab dengan nada tinggi yang di aluri dengan emosi. HAHA. Sungguh kau ini bagaimana, aku juga tak tahu harus bagaimana.

Dunia semakin menggila, umur yang semakin menua, namun sikap masih begitu saja, opini yang hanya memarahi objek satu saja tanpa melihat beberapa sisi yang rasional. Ku coba berbicara tapi Kau hanya melewat saja, bagai pesawat melintas dengan laju kencang yang berujung dengan tujuan, tanpa ada sedikit candaan.

Aku bingung, bingung dengan Kau yang menjalani sehari hari tanpa diriKu, Kau Bahagia dengan seseorang yang tak ada hubungannya apapun, namun Kau begitu senang nan gembira. Aku ini apa? Atau apa Kau ini? Atau aku saja yang berharap lebih? Aku mempunyai hubungan, aku berhak saja. Yauda bagaimana kamu saja, aku hanya berdo'a semoga kau peka terhadap darah kita.

Saat nestapa berada di singgah sana, jemari dan jaripun menjadi satu dengan sebuah aspirasi, terhadap ideologi yang telah terjadi. Engkau punya mimpi namun kami juga punya mimpi, jangan berenti, jangan Kau halangi, jangan Kau mencaci dengan gagasanMu yang tak berarti. Ia tumbuh dengan sendiri, Ia mencari teman yang berarti, berbagi argumentasi tentang dunia ini. Aku dan Ia sebuah tulisan yang telah di coretkan dengan tinta yang tak sengaja menyatu menjadi baru, revolusi baru telah menjadikan seseorang hidup dengan penuh warna dan canda tawa.

Puan dan Tuan mau sampai kapan Kau terus begini, Kau harus berubah dan mencari jati diri. Kau pula kemana saja, sudah tau ini menjadi salah satu kewajiban Kau yang harus di jalani, jika tidak, terima saja dampak yang dialami. Mengerikan, menyakitkan, menyedihkan, membosankan. Hal itu sering kali sudah terjadi dan dialami sehari-hari olehKu. Menjadi Kiri salah menjadi Kanan terlalu kaprah menjadi manusia memang tak mudah, sudah sudah. Padahal kami segumpal darah, namun apakah darah itu palsu? Atau darah biru? Haha sudah lah sebuah guyonan yang tak beraturan.

Malampun tiba, senja sudah tiada, keindahan hanya sekilas begitu saja. Namun keindahannya tak bisa diungkiri dengan sebuah kata prasa ataupun aksara. Esok hari, tak bakal seindah saat tadi, sebab katanya bogor itu kota hujan, aku bosan dengan air yang berjatuhan. Kau harus merasakan agar Kau tau bahwa sedih itu bukan pilihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun