Air mata yang selama ini kutahan akhirnya jatuh.
"Ayah, maafkan aku..."
Suara itu nyaris tak terdengar. Aku menggigit bibir, berusaha menahan sesak di dada. Aku ingin berbicara banyak hal, ingin menceritakan semuanya, ingin meminta maaf dengan segala ketulusan yang kumiliki.
Tapi Ayah tidak bisa lagi mendengarku.
Aku berlutut, menyentuh nisan yang terasa dingin. Dalam hati, aku berjanji---aku akan berubah. Aku akan menjadi anak yang Ayah harapkan. Aku akan kembali kepada Tuhan, seperti yang selalu Ayah inginkan.
Di bawah cahaya bulan, aku membaca Al-Fatihah dengan suara bergetar. Malam itu, aku merasa Ayah masih ada, masih mendoakanku seperti dulu.
Dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, aku merasa sedikit lebih tenang.
LANGKAH MENUJU CAHAYA
Aku pulang ke rumah dengan hati yang lebih ringan. Ibu menyambutku dengan senyum yang selalu kurindukan.
"Bu, apakah Ayah pernah kecewa padaku?" tanyaku lirih.
Ibu menghela napas, menatapku dengan penuh kasih. "Nak, Ayah selalu bangga padamu. Dia hanya ingin kau tidak melupakan Allah, karena itulah warisan terbesar yang bisa ia berikan padamu."