Mohon tunggu...
Ufqil mubin
Ufqil mubin Mohon Tunggu... Jurnalis - Rumah Aspirasi

Setiap orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ribut Capres dan Cawapres, Rakyat Dapat Apa?

27 Juli 2018   00:45 Diperbarui: 27 Juli 2018   04:39 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menunggu terpilihnya pemimpin baru, pengusungan capres dan cawapres dari partai politik, hingga pergerakan oposisi pemerintah memang salah satu poin tersendiri bagi awak media. Mengapa? Karena sebagian besar perhatian pembaca diarahkan pada isu tersebut. Media massa mendapat keuntungan dari tingginya rating pembaca ketika mengangkat isu-isu perpolitikan nasional tersebut.

Tetapi apa untungnya bagi masa depan sosial-politik-ekonomi-pendidikan bangsa ini? Mungkin ada. Tetapi nyaris tidak pernah terbersit dalam ingatan dan memori kolektif bangsa ini, ketika pergantian dan peralihan periode kepemimpinan nasional, apakah probelum sosial dan individual setiap anak bangsa terselesaikan. Saya tidak mengajarkan Anda untuk pragmatis dalam pilihan isu dan arus pemikiran. Tidak demikian. Justru saya ingin Anda berpikir realistis.

Sekedar sebagai pengingat, pada 25 Juli lalu, saya membaca di facebook, warga Suku Mausu Ane yang tinggal di Pulau Seram, Kecamatan Seram Utara Tobi, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku terserang bencana kelaparan. Sebanyak 45 kepala keluarga dengan 175 jiwa warga setempat sedang mengalami kekurangan pangan yang sangat akut. Penyebabnya, tanaman-tanaman mereka terserang hama mematikan.

Bencana kelaparan di Maluku (bbc.com)
Bencana kelaparan di Maluku (bbc.com)
Lalu jika ditarik secara nasional, bangsa Indonesia masih menghadapi kemiskinan yang tidak kalah tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2018 menunjukkan, sebanyak 25,95 juta penduduk negeri ini masih hidup di bawah garis kemiskinan. Problem sosial karena kemiskinan di tanah air menjadi catatan yang kerap memenuhi halaman media elektronik dan cetak di negeri ini.

Pun demikian, setiap tahun kita lihat banjir melanda Samarinda, Kutai Kartanegara, Cilacap, Jakarta, dan sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia. Akibatnya, perputaran ekonomi terhambat. Lalu kehidupan terancam karena longsor yang menggerogoti sebagian tanah Jawa. Pendidikan para pelajar terhambat. Sekolah ditutup. Hingga kita kehilangan akses untuk mendapatkan air bersih. Padahal itu adalah penopang terpenting aktivitas kita saban waktu.

Ilustrasi (msn.com)
Ilustrasi (msn.com)
Begitu juga kasus kematian di Kalimantan Timur. Puluhan anak-anak meninggal dunia karena terjatuh di lubang tambang yang tak kunjung ditutup pemerintah dan pengusaha tambang batu bara. Setiap tahun keluarga, orang tua, aktivis tambang, aktivis lingkungan menuntut keadilan. Tetapi hanya satu atau dua orang di antara mereka yang mendapatkan respons oleh aparat kepolisian. Selebihnya, kasus menguap, mengulur bersama derasnya arus waktu, dan kepentingan-kepentingan semu dari hasil perselingkuhan para penegak hukum dan pengusaha di daerah ini.

Masih segar dalam ingatanku, dua bulan lalu, seorang ibu rumah tangga berorasi dengan nada marah dan emosional di hadapan para mahasiswa, dosen, dan wakil rakyat. Dia berbicara tentang nihilnya keadilan dalam ruang kerja para penegak hukum. Anaknya meninggal karena tenggelam di lubang tambang. Sementara perusahaan tidak mau bertanggung jawab. Lalu, kepolisian daerah berujar masalah tersebut dapat diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat. Apa yang tersisa dari kelamnya kasus tersebut? Kita dipertontonkan dengan fenomena bahwa keadilan di negeri ini, masih sebatas isapan jempol belaka.

Ilustrasi anak-anak yang meninggal di lubang tambang (kbr.id)
Ilustrasi anak-anak yang meninggal di lubang tambang (kbr.id)
Fenomena berikutnya, sedikit maju di awal Juni 2018, ratusan petani bawang merah di Kabupaten Bima, Provinsi NTB, harus menghadapi penurunan harga bawang. Padahal sebelum masa panen tiba, harga bawang merah berkisar Rp 15 ribu sampai Rp 17 ribu per kilogram. Lalu di masa panen, harganya tinggal Rp 9 ribu per kilogram. Petani merugi. Seorang teman bermain saya yang kini menjadi petani di kampung, berkisah penuh lirih kepada saya, bahwa dia merugi puluhan juta. Sementara dua bulan sebelumnya, dia sudah bekerja siang dan malam di sawah, demi memenuhi hajat hidup istri dan anak semata wayangnya yang mulai tumbuh menginjak umur tiga tahun.

Ilustrasi (tirto.id)
Ilustrasi (tirto.id)
Pagi tadi, seorang akademisi dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, mengirim pesan di whatsapp saya, bahwa 192 bakal calon legislatif yang berasal dari sembilan provinsi, 92 kabupaten, dan 11 kota, berstatus mantan narapida kasus korupsi. Partai politik menyodorkan orang-orang yang cacat integritas untuk mewakili dan menyuarakan hajat hidup kita di institusi DPRD.

Sementara itu, beberapa hari yang lalu, di layar televisi dan sebagian besar media nasional memberitakan seorang pimpinan lapas menerima suap dari tahanan kasus korupsi. Seorang mantan artis dan pejabat negara terlibat dalam pusaran penyalahgunaan jabatan, mengambil, dan menerima uang suap.  

Ilustrasi jalan rusak (tribunnews.com)
Ilustrasi jalan rusak (tribunnews.com)
Sementara infrastruktur pendidikan kita, masih jauh dari kata sempurna. Pekerjaan rumah bagi negeri ini masih bertumpuk di bidang pendidikan. Guru yang tidak berkualitas, kurikulum yang berubah-ubah setiap tahun, hingga minimnya jumlah pengajar di wilayah-wilayah terpencil seperti di daerah Papua dan Kalimantan. Guru masih tersentral di kota. Pada saat bersamaan, kita dipertontonkan dengan gaji dan insentif guru honorer yang tidak kunjung mencapai standar Upah Minim Regional (UMR).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun