Setelah pemilihan kepala daerah (pilkada) di 171 kabupaten/kota dan provinsi yang dilaksanakan secara serentak pada tahun 2018, riuh politik nasional kembali menggema di bumi Indonesia. Menjelang pengusungan Calon Presiden (Capres) dan Wakil Presiden (Cawapres) Republik Indonesia, suara dukungan dan penolakan bergema di seantero negeri.
Hari ini, Kamis (26/7/2018), media-media arus utama (mainstream) ramai memberitakan pertemuan antara Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto. Dua hari yang lalu, Selasa (24/7/2018), enam partai politik pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu di Istana Kepresidenan, Bojor, Jawa Barat.
Kala itu pula, hujatan bertebaran dari pengguna media sosial. Khususnya dari mereka yang membawa jargon Islam. Kelompok yang selama ini mengelu-elukan TGB sebagai ulama yang diharapkan dapat menguatkan gerakan 2019 ganti presiden.
Di satu sisi, saya senang dengan perkembangan masyarakat di negeri ini. Rakyat Indonesia mulai dapat menilai dan memberikan dukungan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Namun di sisi lain, alasan dukungan dan penolakan itu masih didasarkan hal-hal remeh temeh yang belum menyentuh substansi problem sosial-politik-ekonomi bangsa ini. Dalam artian, masih sebatas emosi sesaat, yang tentu saja pada waktunya akan hilang ditelan waktu.
Awal tahun lalu, memori saya juga masih segar dengan perdebatan di facebook, bersama seorang teman yang dulu sempat belajar bersama saya di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Di media sosial tersebut, kami berdebat soal capres dan cawapres yang layak memimpin bangsa ini di periode 2019-2024. Dia pendukung TGB yang sangat fanatik dan militan. Sementara posisi saya, tidak mendukung Jokowi, Prabowo, TGB, atau siapa pun yang tampil di pentas politik nasional.
Tetapi belakangan, seorang teman menegur saya, karena sering menulis tema-tema yang cenderung mendukung pemerintah. Mungkin dasarnya beberapa tulisan saya yang dilihat dari satu sudut pandang. Padahal dalam kenyataannya, saya tidak sepenuhnya mendukung pemerintah. Juga tidak sepenuhnya menjadi pendukung oposisi yang minim apresiasi.
Perhatian kita, rakyat Indonesia, tertuju dan menanti siapa yang akan bertarung dalam pemilihan presiden dan wakil presiden 2019. Lalu saya bertanya, apa yang bisa kita dapatkan dari histerisnya persiapan kontestasi pemilu lima tahunan itu? Bukankah itu urusan partai politik, pendukung, relawan, dan mereka yang berada dalam lingkar kekuasaan atau elit oposisi?
Saya tidak mendapatkan jawaban yang memadai atas apa yang kita dapatkan dari ramainya pemberitaan yang hilir mudik pada pencalonan orang nomor satu dan nomor dua di negeri ini. Mengapa demikian? Karena kita hanya disuguhkan dengan peta dukungan, koalisi, dan tarik menarik calon dari game politik para elit.
Sementara pada saat yang bersamaan, kehidupan sosial-ekonomi-politik, hingga problem kehidupan pribadi kita tidak kunjung mendapat jawaban dari proses politik dan gaduhnya dukungan hingga hujatan, cacian, dan makian yang memenuhi jagat media sosial kita dalam kurun waktu beberapa bulan belakangan.
Menunggu terpilihnya pemimpin baru, pengusungan capres dan cawapres dari partai politik, hingga pergerakan oposisi pemerintah memang salah satu poin tersendiri bagi awak media. Mengapa? Karena sebagian besar perhatian pembaca diarahkan pada isu tersebut. Media massa mendapat keuntungan dari tingginya rating pembaca ketika mengangkat isu-isu perpolitikan nasional tersebut.
Tetapi apa untungnya bagi masa depan sosial-politik-ekonomi-pendidikan bangsa ini? Mungkin ada. Tetapi nyaris tidak pernah terbersit dalam ingatan dan memori kolektif bangsa ini, ketika pergantian dan peralihan periode kepemimpinan nasional, apakah probelum sosial dan individual setiap anak bangsa terselesaikan. Saya tidak mengajarkan Anda untuk pragmatis dalam pilihan isu dan arus pemikiran. Tidak demikian. Justru saya ingin Anda berpikir realistis.
Sekedar sebagai pengingat, pada 25 Juli lalu, saya membaca di facebook, warga Suku Mausu Ane yang tinggal di Pulau Seram, Kecamatan Seram Utara Tobi, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku terserang bencana kelaparan. Sebanyak 45 kepala keluarga dengan 175 jiwa warga setempat sedang mengalami kekurangan pangan yang sangat akut. Penyebabnya, tanaman-tanaman mereka terserang hama mematikan.
Pun demikian, setiap tahun kita lihat banjir melanda Samarinda, Kutai Kartanegara, Cilacap, Jakarta, dan sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia. Akibatnya, perputaran ekonomi terhambat. Lalu kehidupan terancam karena longsor yang menggerogoti sebagian tanah Jawa. Pendidikan para pelajar terhambat. Sekolah ditutup. Hingga kita kehilangan akses untuk mendapatkan air bersih. Padahal itu adalah penopang terpenting aktivitas kita saban waktu.
Masih segar dalam ingatanku, dua bulan lalu, seorang ibu rumah tangga berorasi dengan nada marah dan emosional di hadapan para mahasiswa, dosen, dan wakil rakyat. Dia berbicara tentang nihilnya keadilan dalam ruang kerja para penegak hukum. Anaknya meninggal karena tenggelam di lubang tambang. Sementara perusahaan tidak mau bertanggung jawab. Lalu, kepolisian daerah berujar masalah tersebut dapat diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat. Apa yang tersisa dari kelamnya kasus tersebut? Kita dipertontonkan dengan fenomena bahwa keadilan di negeri ini, masih sebatas isapan jempol belaka.
Sementara itu, beberapa hari yang lalu, di layar televisi dan sebagian besar media nasional memberitakan seorang pimpinan lapas menerima suap dari tahanan kasus korupsi. Seorang mantan artis dan pejabat negara terlibat dalam pusaran penyalahgunaan jabatan, mengambil, dan menerima uang suap. Â
Jalan raya sebagai salah satu penyambung jantung perekonomian belum tersambung. Sebagian daerah di Indonesia sedang berkutat dengan jalan berlumpur, terisolasi, dan hidup dengan keterbelakangan infrastruktur jalan. Begitu juga dengan listrik, desa-desa di Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Papua, belum mendapatkan akses listrik yang memadai. Jika pun  ada, setiap bulan bisa didapatkan dengan merogok kocek ratusan ribu rupiah.
Lalu, ketika kita membuka mata, tabir penutup pandangan kita, melihat ke arah luasnya dunia, negara-negara lain sudah jauh mengembangkan teknologi pertanian, kelistrikan, kedokteran, militer, hingga robot. Sedangkan bangsa kita masih berkutat dengan pola tradisional yang mengandalkan tenaga manusia.