Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf
Muhammad Yusuf Mohon Tunggu... Pekerja Lingkungan dan Perikanan -

Aktif di LSM bidang perikanan, pesisir, dan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Larangan Cantrang Dicabut Pada Tahun Politik

17 Januari 2018   20:56 Diperbarui: 17 Januari 2018   21:06 1887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Larangan Cantrang akhirnya dicabut dan boleh beroperasi secara legal di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, pada tanggal 17 Januari 2017, di hadapan nelayan yang melakukan demonstrasi di kawasan Monas, Jakarta. Sejak tanggal 15 Januari 2018, sudah beredar beberapa kabar bahwa cantrang akan dicabut larangannya, berdasarkan hasil pertemuan tertutup Presiden Jokowi dengan nelayan cantrang di Tegal. Kabar ini beredar bukan tanpa sebab, beberapa pihak menyebutkan, mulai tahun 2018-2019, adalah tahun politik. 

Dan unjuk rasa, hiruk pikuk, dan penolakan larangan cantrang di berbagai wilayah dapat menurunkan elektabilitas Jokowi pada pemilihan presiden tahun 2019, bahkan dapat beralih ke calon presiden lain (Kompas.Com:https://goo.gl/aF5Pqv). Mungkin inilah alasan paling masuk akal atas dicabutnya larangan cantrang.

Sejarah pelarangan cantrang, atau trawl, dan sejenisnya di Indonesia, sudah dilakukan sejak zaman pemerintahan Presiden Soeharto, pada tahun 1980-an. Ini juga kerena tuntutan para nelayan kecil yang sangat dirugikan oleh beroperasinya cantrang di wilayah penangkapan ikan yang sama, khususnya dengan pemancing. Tetapi larangan alat tangkap cantrang tersebut tidak ditegakkan sebagaimana mestinya, dan operasi penangkapan dengan trawl dan sejenisnya tetap marak hampir di seluruh wilayah perairan laut Indonesia. 

Sejarah berlanjut, sejak tahun 2011, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan peraturan mengenai Jalur Alat Penangkapan Ikan (API), dimana trawl, cantrang dan sejenisnya, yang masuk kategori API Pukat Tarik dan Pukat Hela, hanya boleh menangkap di jalur 1B ke atas (4 mil laut ke atas), sebagian besar hanya boleh menangkap di jalur 2 dan 3 (12 mil laut ke atas). Hal ini bertujuan untuk mengurangi ruang gerak cantrang di perairan laut Indonesia yang metode operasinya merusak habitat dan merugikan nelayan kecil pemancing (Kompasiana.Com: https://goo.gl/o78kd2, dan Kominfo.Go.Id: https://goo.gl/MGVe9Y), serta beberapa referensi lainnya.

Kemudian berlanjut dengan peraturan pelarangan cantrang oleh KKP pada tahun 2015. Tetapi peraturan ini hanya berlaku kurang lebih 1 tahun. Sejak diumumkan, larangan tersebut langsung menuai protes dari para nelayan, dengan mendatangi Ombudsman RI. Ombudsman sudah meminta pemerintah untuk memberikan tenggat waktu transisi yang berakhir pada Desember 2016. Namun mendekati tenggat waktu tersebut, nelayan kembali memprotes dan akhirnya KKP memberikan perpanjangan waktu hingga Juni 2017, yang kemudian diundur lagi hingga akhir 2017. Menteri Susi Pudjiastuti bahkan sempat mengeluarkan pernyataan akan mengundurkan diri jika cantrang kembali dilegalkan, atau keburu ikan di Indonesia akan habis (Kompas.Com: https://goo.gl/vFS3Kn). Dalam hal ini, KKP harus dapat melakukan kalkulasi strategi dan program, dampak sosial ekonomi nelayan, serta lingkungan, agar peraturan larangan cantrang tidak menimbulkan gejolak pada beberapa pihak nelayan atau perusahaan.

Larangan cantrang, bukannya pemerintah atau KKP tidak berpihak kepada nelayan, karena sejarah dan tinjauan ilmiah di atas seharusnya sudah menjadi jawaban. Jika membanding-bandingkan kepentingan antar nelayan, secara kasar bisa dihitung. Misalnya studi kasus di Takalar Sulawesi Selatan, armada cantrang yang hanya beberapa kapal dengan crew sekitar 6-10 orang, tetapi sangat "mengganggu" dan merugikan para pemancing yang berjumlah puluhan sampai ratusan. Begitu juga di lokasi lain di Indonesia. Belum lagi kerusakan habitat dan ekosistem yang ditimbulkan, jika dihitung secara valuasi ekonomi, kerugiannya bisa berkali lipat dan berdampak jangka panjang. Kemudian hasil tangkapannya lebih dari 50% tidak bernilai ekonomis dan akhirnya dibuang ke laut dalam keadaan mati atau rusak jika mengeruk terumbu karang.

Apakah hal ini sudah dipikirkan lagi secara matang oleh pemerintah? Atau bahkan bisa jadi kecolongan pemerintah sekarang, jika lawan politik Jokowi sekarang "menggoreng" isu ini, dengan membandingkan jumlah nelayan dan kerugiannya lebih besar, jika melegalkan kembali cantrang, trawl, dan sejenisnya.

Awal tahun politik ini, menjadi batu sandungan, serta menambahkan jalan terjal dan mendaki, bagi pengelolaan perikanan berkelanjutan di Indonesia (Makassar, 17 Januari 2018)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun