Namaku Almira. Aku adalah anak tunggal dari seorang pengusaha kilang minyak di Surabaya. Ibuku meninggal setahun yang lalu. Dan tepatnya di bulan Februari, papa memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang wanita yang bernama Tante Difa. Difa bukanlah tipe wanita keibuan. Walau usianya sudah menginjak empat puluhan, sifatnya masih seperti remaja tujuh belas tahunan. Ia centil, manja, dan gemar sekali berbelanja. Paling tidak sebulan sekali ia mengupdate semua perlengkapan hidupnya. Dari mulai sepatu, baju, hingga gincu.
Ia juga tak pernah memasak untuk aku dan papa. Ia selalu menyarankan kita untuk makan di luar saja.
“Restoran itu sepertinya belum kita coba, Mas…. Bagaimana kalau yang itu…. Mas, kurasa kita belum pernah makan disitu…” Ya, kata-kata itulah yang coba diulangnya setiap hari. Yang membuatku cukup yakin bahwa sebenarnya dia tak bisa apa-apa.
Difa juga sering menyuruhku ketika papa tak ada di rumah. Ia seringkali memintaku untuk membuatkannya teh, mengambilkannya makan, dan menyetrika semua baju-bajunya. Pernah suatu kali kuadukan perbuatannya pada papa, tapi papa sepertinya lebih mempercaya omongan istri barunya daripada anaknya. Aku selalu saja kalah.
Untungnya papa mengabulkan permintaanku untuk lebih lama berada di rumah. Dengan begitu Difa tak akan bisa menyuruhku macam-macam. Ia biasanya akan cemberut dalam diam dan mencari-cari alasan untuk bermuka masam.
Namun keadaan berubah begitu cepat. Tepat sebulan yang lalu, papa mengalami kecelakaan dan akhirnya meninggal. Difa tak membutuhkan waktu lama untuk menikah dengan pria lain setelah kematian papa. Aku selalu curiga inilah yang sebenarnya ia nanti-nantikan.
Sikapnya kini berubah 180 derajat. Tak ada lagi nada manis ketika ia berbicara. Aku sudah dilarang kuliah. Pekerjaanku sekarang mengurus rumah. Sedangkan Difa berleha-leha menikmati aset papa bersama suami barunya.
Seringkali Difa mengancam kematian jika aku berani kabur dari rumah. Kematian, ah kata orang itu terasa menyakitkan. Aku jadi ingin tahu, lebih sakit mana—didatangi kematian atau dikurung dalam rumah yang penuh kekejaman.
Jikalau kematian ternyata lebih ringan, aku sepertinya lebih merindukan kedatangannya esok hari daripada harus terbangun lagi. Bukankah dengan begitu aku bisa bertemu dengan papa dan mama kembali?
Tiba-tiba pisau di dapur mengedip manja padaku. Kurasa ia telah tahu apa tugasnya esok subuh.