Minggu lalu, saya menengok tanah yang baru berpindah kepemilikan. Letaknya lumayan terpencil, di antara deretan kontrakan dan gang perumahan yang tidak beraturan.
Karena telah lama kosong, tanah tersebut dijadikan "tempat sampah" dadakan oleh warga sekitar. Ya, para warga membuang sampah di sana, dan membakarnya setiap beberapa minggu.
Fenomena seperti ini bukan hanya sekali-dua kali terjadi. Sudut jalan, lahan kosong, hingga aliran kali dan sungai memang kerap dijadikan lokasi timbunan sampah. Alasannya pun beragam, mulai dari kemudahan membuang, ketidakpedulian hingga tidak adanya akses pemungutan sampah oleh petugas TPA/TPST.
Plang "Dilarang buang sampah di sini," juga tidak memberi arti banyak. Seringnya kata larangan tersebut dibumbui dengan doa dan ancaman berbau mistis, yang konon lebih dipercaya dibanding ancaman hukum.
Baca juga: Sampah Lokal Overload, Mengapa Indonesia Tetap Mengimpor Sampah?
Kebiasaan membakar sampah sembarangan
Selain menimbun sampah di lahan kosong, membakar sampah juga merupakan cara yang sering dipilih warga yang tidak terjangkau petugas TPA/TPST.
Secara kasat mata, sampah yang dibakar memang hilang. Namun jika lihat lebih dalam, mereka hanya berubah jadi partikel kecil yang masih atau bahkan lebih berbahaya.
Sampah plastik misalnya, yang dapat menerbangkan ribuan mikroplastik ketika dibakar. Mikroplastik itu kemudian mengendap lagi di tanah dan tanaman yang kita makan, terbang bersama udara yang kita hirup, dan mengalir di air yg kita minum.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!