Tapi kau urung menyebutkan itu. Tidak ada yang bisa menerka tingkat pengetahuan seseorang, atau dalam hal ini sehewanan. Sebagai makhluk purba, ular naga disinyalir memiliki insting seekor elang, intuisi seorang ibu, serta kebijaksanan seorang petapa.
"Sa-ya ma-u ko-pi," sahut ular naga itu dengan derik mengancam. Hidungnya mulai mengeluarkan asap. Mulutnya tertutup dan terbuka dalam gerak tak simultan.
Untuk sepersekian detik, kau berpikir bahwa ular naga itu akan menyemburkan api. Bukankah itu adalah cara ideal bagi naga untuk unjuk gigi (dan mengintimidasi)?
Kilas perjalanan seperempat abad mendadak berlarian dalam kepalamu. Saat-saat pertama masuk sekolah, berkenalan dengan seorang teman, berambut ikal, bergigi gingsul; menangis karena tersandung batu, membatu saat dimarahi ibu; beranjak dewasa, pertama kali masuk bekerja, kecup hangat di dekat telinga, senandung lagu dari penyuara jemala; tertidur, tersungkur, terantuk realita, jalan macet ibukota.Â
Kau lalu memejamkan mata. Lidahmu terbata merapal syahadat yang selama ini tertinggal di balik sajadah. Kesaksian terakhir seorang hamba, kehambaan terakhir seorang manusia.
Namun bukan api yang menghujani kulitmu. Melainkan pekik yang diiringi lendir yang sedikit kental yang berbau bacin. Menyebar bersama batuan dan kerikil.Â
Ular naga itu sedang bersin, sekaligus meruntuhkan tembok rumahmu yang tersisa sesibir.
Habis sudah. Hewan purba itu telah melenyapkan kewarasan dan tempat tinggalmu secara bersamaan. Mungkin sebentar lagi, giliran rangka yang melindungi darah dan tulang belulangmu yang ia tuntaskan.
"Ko-pi a-pa?" jawabmu pasrah, mengikuti titah sang tuan raja.
"Hitam," jawab si ular naga. Tidak lagi mengeja.
Kau memijit kening. Terlalu lelah. Terlampau gerah. Jika ini mimpi, kau ingin secepatnya terbangun. Meski itu artinya kau harus segera mandi dan mengecek deretan pesan para atasan. Tidak apa. Setidaknya, bekerja tampak lebih logis dibanding bermimpi sebagai pembantu ular naga.