Baca sebelumnya, Ekspektasi.
Kau sedang memikirkan tentang gajian ketika melihat sepasang muda-mudi berjalan dengan begitu rekatnya.
Si lelaki menggandeng tangan sang perempuan---erat---seolah takut perempuan itu terjatuh, atau mungkin terjerembap dalam lubang got yang berjarak setengah jengkal dari kakinya. Sang perempuan tampak tenang dan riang. Ia juga mengeratkan genggaman seolah dengan begitu mereka siap melawan dunia,.
Kau meringis antara pilu dan iri; antara geli namun ingin. Kau lalu mematut penampilanmu dari ujung sepatu hingga ujung kuku, dan bertanya-tanya: apa kurangnya dirimu?
Kau memakai skin care seperti wanita kebanyakan. Menghabiskan waktu lebih banyak untuk menyelaraskan baju atasan dan bawahan. Memoles rona merah pada wajah agar tidak terlihat pucat. Mengontrol nada bicara agar tidak terkesan galak, jutek, dan tidak berperasaan.
Namun semakin kau mencoba, kau justru semakin kehilangan. Ibarat menggenggam pasir: semakin erat digenggam, butir-butir pasir itu semakin banyak yang berjatuhan. Padahal niat si penggenggam sederhana: menjaganya agar pasir itu lebih aman.
Mengingat hal tersebut membuatmu semakin kesal, dan tanpa sadar memukul sepeda motormu sendiri yang sedang berhenti di lampu merah.
"Sabar mba. Hidup emang berat." Seorang bapak-bapak, berumur lima puluh tahunan, menyeletuk di atas motornya. Ia tepat berada di sampingmu, mengenakan jaket tipis dan sandal jepit.
Antara kaget dan malu, kau memilih menatapnya dan bergumam maaf.
"Tapi apa mba tahu yang lebih berat dari hidup?" tanya Bapak itu yang membuatmu lebih terkejut.
Kau memahami beberapa tipe pertanyaan dan pertanyaan ini termasuk ke dalam yang tidak membutuhkan jawaban. Si penanya biasanya berharap lawan bicaranya akan berkata tidak atau tidak tahu, karena dengan begitu ia bisa leluasa menjelaskan.
Dengan pemahaman tersebut kau memutuskan untuk menggeleng, namun kali ini sambil mengeratkan tali tasmu yang tersangkut di punggung. Tidak ada yang bisa menebak kapan penjambretan akan terjadi, begitu petuah ibumu yang masih melekat hingga kini.
Mengetahui lawan bicaranya hening, Bapak itu kembali melanjutkan."Rindu. Dilan aja nggak kuat, apalagi mba'nya."
Kau mungkin sudah terpingkal jika saja ini bukan di tengah jalan dan menunggu pergantian lampu lalu lintas. Meski demikian kau tetap tertawa dengan tujuan: (1) menghargai lawan bicara yang sebetulnya tidak diajak bicara, (2) kau memang tidak lihai dalam urusan menahan tawa.
Angka hitung mundur lalu lintas menunjuk angka 10 ketika suara gerungan kendaraan mulai terdengar. Bapak itu bahkan sudah melesat sebelum lampu berubah hijau, dan kau benar-benar menyesal belum mengucap maaf karena telah mencurigainya sebagai penjambret.
Perjalananmu ke tempat kerja tidak pernah seringan ini. Kau melihat ibu yang dengan hati-hati menyebrangkan anaknya menuju sekolah. Penjaja balon yang masih semangat mengayuh sepedanya di terik siang. Seorang tukang paket yang kewalahan dengan bawaannya, namun tetap memastikan paket-paket itu sampai dengan selamat.
Dan seperti menggenggam pasir, kau belajar untuk meregangkan keinginanmu pada dunia. Bukan untuk melepas, namun untuk memastikan bahwa hidup tetap berjalan dalam notasinya; bahwa semesta selalu memiliki cara untuk mempertemukan hal-hal yang tak terduga.
--
27/9/20