Dengan pemahaman tersebut kau memutuskan untuk menggeleng, namun kali ini sambil mengeratkan tali tasmu yang tersangkut di punggung. Tidak ada yang bisa menebak kapan penjambretan akan terjadi, begitu petuah ibumu yang masih melekat hingga kini.
Mengetahui lawan bicaranya hening, Bapak itu kembali melanjutkan."Rindu. Dilan aja nggak kuat, apalagi mba'nya."
Kau mungkin sudah terpingkal jika saja ini bukan di tengah jalan dan menunggu pergantian lampu lalu lintas. Meski demikian kau tetap tertawa dengan tujuan: (1) menghargai lawan bicara yang sebetulnya tidak diajak bicara, (2) kau memang tidak lihai dalam urusan menahan tawa.
Angka hitung mundur lalu lintas menunjuk angka 10 ketika suara gerungan kendaraan mulai terdengar. Bapak itu bahkan sudah melesat sebelum lampu berubah hijau, dan kau benar-benar menyesal belum mengucap maaf karena telah mencurigainya sebagai penjambret.
Perjalananmu ke tempat kerja tidak pernah seringan ini. Kau melihat ibu yang dengan hati-hati menyebrangkan anaknya menuju sekolah. Penjaja balon yang masih semangat mengayuh sepedanya di terik siang. Seorang tukang paket yang kewalahan dengan bawaannya, namun tetap memastikan paket-paket itu sampai dengan selamat.
Dan seperti menggenggam pasir, kau belajar untuk meregangkan keinginanmu pada dunia. Bukan untuk melepas, namun untuk memastikan bahwa hidup tetap berjalan dalam notasinya; bahwa semesta selalu memiliki cara untuk mempertemukan hal-hal yang tak terduga.
--
27/9/20