Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Story Collector

Mō zhe shítou guò hé - Deng Xiaoping | Ordinary Stories, Structural Echoes

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Hari-Hari Bermakna di Kampung Solol Raja Ampat

9 Juni 2025   13:38 Diperbarui: 10 Juni 2025   08:27 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lautan tenang di Selat Sagawin (2022) | Foto: S Aji

Sejatinya ini bukan laporan perjalanan wisata atau seseorang dengan pandangan seperti turis (tourist gaze). Di dalamnya, ada ekspektasi yang dibentuk oleh brosur, video promosi, artikel wisata tentang Raja Ampat.

Hari yang Tenang untuk Jiwa yang Kangen

Menjelang senja, kami berangkat dengan perahu berukuran sedang yang dinahkodai seorang bapak dari pelabuhan Sorong. Pelayaran menuju Kampung Solol akan menumpuh 3 hingga 4 jam, kata seorang kawan. 

Pelayaran ini juga akan melewati Pulau Doom yang pernah menjadi pusat pemerintahan Belanda di tahun 1935. Ketika Perang Pasifik pecah, Jepang juga menggunakan pulau ini sebagai basis pertahanannya. Belanda membangun hunian dan Jepang membangun gua. 

Sesudah gelap pelan-pelan merayap, kami berlabuh di Kampung Solol. Beberapa pemuda kampung menyambut kami, menurunkan belanjaan dan mengangukutnya ke dalam rumah panggung. Rumah panggung ini adalah sebuah bengkel kerja yang sehari-hari digunakan warga Solol, dari mama-mama sampai anak muda. 

Mereka membuat Virgin Coconut Oil (VCO), tepung dari bahan dasar pisang, juga sambal dari ikan. Sementara di halamannya, para pemuda bercocok tanam dengan cara yang lestari (organik). Rumah panggung itu adalah wujud dari kolaborasi kawan-kawan di Perkumpulan Bentara Papua dan warga Kampung Solol.

Saya tidak akan membicarakan apa yang melatari kolaborasi tersebut. Termasuk alasan-alasan ekonomi, sosial dan "politik" yang membuatnya dibangun. Untuk bagian ini, kamu bisa mengunjungi tulisan saya yang berjudul Menulis Buku dan Mencintai Papua.

Saya sekadar ingin berbagi suasana batin ketika berada di sebuah kampung kecil, Kampung Solo, yang berada di Selat Sagawin. Selat yang menjadi pintu masuk dan keluar dari Pelabuhan Sorong. 

Lautan tenang di Selat Sagawin (2022) | Foto: S Aji
Lautan tenang di Selat Sagawin (2022) | Foto: S Aji

Seperti dalam artikel Menulis Buku dan Mencintai Papua, saya mengunjungi Kampung Solol karena sebuah proyek tunggal penulisan buku. Kampung Solol mungkin terlihat kasat mata seperti perkampungan kecil di sebuah teluk di Pulau Salawati, namun sejarahnya menyimpan kekayaan ingatan dan narasi kolektif yang tidak sedikit.

Oleh karena itu, saya datang dengan daftar pertanyaan dan orang-orang yang akan ditemui untuk mendengar kisah, merekam, membayangkan masa lalu, dan menuliskannya pelan-pelan. Sebagai seseorang yang lebih dari satu dekade meninggalkan tanah Papua, saya jelas membutuhkan adaptasi kultural. 

Bersyukur sekali, orang-orang Solol, mulai dari para tetua, mama-mama, tokoh adat, tokoh gereja, hingga anak-anak muda menyambut saya dengan kebaikan dan keramahan hati. Kisah-kisah yang saya ingin ketahui segera saja mengalir seperti aliran lembut ombak di pesisir. 

Maka di setiap usai wawancara, saya akan kembali untuk menulis ulang secara verbatim, kata per kata. Begitu siklus setiap hari. Saya hanya seminggu, tak bisa lebih lama. Dan cerita-cerita yang membentuk masa lalu hingga hari ini terkumpul dengan perspektif yang beragam.

Saya tahu ada deadline yang mengikuti setiap langkah kaki. Tapi bukan karena ini alasan yang membuat menulis di Kampung Solol adalah pengalaman yang ngangenin.

Tempat dimana saya menulis: beranda rumah panggung, menghadap lautan tenang, dan debur ombak (2022) | Foto: S Aji
Tempat dimana saya menulis: beranda rumah panggung, menghadap lautan tenang, dan debur ombak (2022) | Foto: S Aji
Kisah-kisah yang Bermakna

Dari beranda rumah panggung yang menghadap lautan tenang Selat Sagawin, saya merapikan kisah-kisah itu. Sembari menyimak rekaman kisah, saya merajut kata-kata. Ada kisah yang merangkai jauh ingatan hingga ke zaman maritim awal dimana perebutan pengaruh kolonial tiba di sini, khususnya di era Kesultanan Tidore, Portugis, Inggris hingga Belanda. 

Kemudian tuturan kisah yang menuntun saya pada masa misionaris Jerman yang tiba di pesisir Papua Barat, termasuk ke Solol, mengkreasi tatanan sosial baru, dan mewariskan kekristenan yang kukuh. Lantas, di masa pergulatan revolusi nasional, Jepang juga tiba di sini. Membuat sebuah bengkel untuk produksi komoditas sembari memata-matai aktivitas sekutu. 

Kisah terus bergeser kepada hidup yang lebih kontemporer. 

Ketika perkampungan kecil ini tumbuh dalam geliat konservasi Raja Ampat hingga produksi ekonomi berpangkal pada sumberdaya tempatan.Kampung Solol memang bukan pemain utama di pariwisata Raja Ampat tapi ia tetaplah sebuah surga kecil di pesisir Papua Barat. 

Dari beranda itu, saya terbawa ke masa lalu. Saya diantar pada sejarah perjumpaan, penaklukan, perjuangan melawan krisis, dan impian hari ini yang tak muluk-muluk seperti janji-janji pembangunan. 

Lalu, ketika terasa cukup dengan menuliskan rekaman kisah, saya berganti pakaian. Dengan celana pendek, saya berenang sebentar di depan pondok. Kalau tidak, saya berlari berkeliling melintasi pasirnya yang lembut kelabu. 

Kemudian senja tiba, hari perlahan gelap. 

Pisang goreng, sambal cakalang, dan kopi hitam yang menemani ketika senja tiba (2022) | Foto: S Aji 
Pisang goreng, sambal cakalang, dan kopi hitam yang menemani ketika senja tiba (2022) | Foto: S Aji 

Ketika dunia dan penghuninya mulai kelelahan karena kecepatan seolah-olah menjadi etos utama mengada sebagai manusia modern, di Solol, slow living tumbuh dengan caranya yang tanpa terminologi macam-macam. Ada irama yang lambat dan tenang--walau kita juga tahu keadaan sesungguhnya tak selalu baik-baik saja--hingga orang-orang yang terus menjaga hidup bersama. 

Maka, bagi saya, Kampung Solol dalam perjumpaan seminggu adalah warisan kebudayaan pesisir yang wajar untuk selalu dirindukan. Ia selalu tersimpan dalam kenangan dari banyak peristiwa yang mudah terlupakan.

Masih dalam kaitan di atas, tempat ini terus terasa eksotis. Sebagai masa lalu yang indah, kearifan yang bertahan, tidak selalu ada di semua tempat, dan terus hidup hingga hari ini. 

Celakanya, eksotika semacam ini, selalu dalam keterancaman oleh ambisi pembangunan yang pada ujungnya juga hanya membuat makin makmur segelintir manusia. Bahkan ketika warga dunia bersatu padu melindunginya (dalam tagar #SaveRajaAmpat, misalnya), negara dan pembangunan masih saja keras kepala. Seolah-olah keduanya paling berhak dan paling tahu yang terbaik bagi masa depan lingkungan dan masyarakatnya.  

Apa yang bisa membuat seekor anjing boleh tertidur nyenyak jika bukan lingkungan sehari-hari yang tenang di Kampung Solol?  (2022) | Foto: S Aji
Apa yang bisa membuat seekor anjing boleh tertidur nyenyak jika bukan lingkungan sehari-hari yang tenang di Kampung Solol?  (2022) | Foto: S Aji

Kita tidak bisa lagi melihat ekonomi, lingkungan, dan hak hidup masyarakat adat berada dalam kompartemen yang saling mengunci. Semuanya hanya mengada dan mungkin mengada dengan cara bersama-sama. Itulah mengapa, tagar #SaveRajaAmpat semestinya tidak dipandang sebelah mata. 

Dari hidup sebentar di Kampung Solol, saya tahu itu adalah hari-hari bermakna yang selalu penting untuk dikenang. Dan, jika negara terus saja "putar bale" cuci tangan, kita tahu mengapa orang-orang terus melawan. 

Saat yang sama, kita makin percaya, pemilu tidak membawa kita beranjak jauh dari kekuasaan yang eksploitatif. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun