Sejatinya ini bukan laporan perjalanan wisata atau seseorang dengan pandangan seperti turis (tourist gaze). Di dalamnya, ada ekspektasi yang dibentuk oleh brosur, video promosi, artikel wisata tentang Raja Ampat.
Hari yang Tenang untuk Jiwa yang Kangen
Menjelang senja, kami berangkat dengan perahu berukuran sedang yang dinahkodai seorang bapak dari pelabuhan Sorong. Pelayaran menuju Kampung Solol akan menumpuh 3 hingga 4 jam, kata seorang kawan.
Pelayaran ini juga akan melewati Pulau Doom yang pernah menjadi pusat pemerintahan Belanda di tahun 1935. Ketika Perang Pasifik pecah, Jepang juga menggunakan pulau ini sebagai basis pertahanannya. Belanda membangun hunian dan Jepang membangun gua.
Sesudah gelap pelan-pelan merayap, kami berlabuh di Kampung Solol. Beberapa pemuda kampung menyambut kami, menurunkan belanjaan dan mengangukutnya ke dalam rumah panggung. Rumah panggung ini adalah sebuah bengkel kerja yang sehari-hari digunakan warga Solol, dari mama-mama sampai anak muda.
Mereka membuat Virgin Coconut Oil (VCO), tepung dari bahan dasar pisang, juga sambal dari ikan. Sementara di halamannya, para pemuda bercocok tanam dengan cara yang lestari (organik). Rumah panggung itu adalah wujud dari kolaborasi kawan-kawan di Perkumpulan Bentara Papua dan warga Kampung Solol.
Saya tidak akan membicarakan apa yang melatari kolaborasi tersebut. Termasuk alasan-alasan ekonomi, sosial dan "politik" yang membuatnya dibangun. Untuk bagian ini, kamu bisa mengunjungi tulisan saya yang berjudul Menulis Buku dan Mencintai Papua.
Saya sekadar ingin berbagi suasana batin ketika berada di sebuah kampung kecil, Kampung Solo, yang berada di Selat Sagawin. Selat yang menjadi pintu masuk dan keluar dari Pelabuhan Sorong.
Seperti dalam artikel Menulis Buku dan Mencintai Papua, saya mengunjungi Kampung Solol karena sebuah proyek tunggal penulisan buku. Kampung Solol mungkin terlihat kasat mata seperti perkampungan kecil di sebuah teluk di Pulau Salawati, namun sejarahnya menyimpan kekayaan ingatan dan narasi kolektif yang tidak sedikit.