Seberapa Dekat Pejabat Kita dengan Buku?
Pertanyaan ini mencuat ketika warganet ramai menyoroti kebiasaan pejabat yang gemar pamer kemewahan, tetapi hampir tak pernah pamer buku. Ironis, sebab dari bacaanlah lahir gagasan besar yang dibutuhkan untuk memimpin bangsa dan melahirkan kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Tanpa literasi, pejabat hanya akan melahirkan kebijakan reaktif, dangkal, dan jangka pendek. Kita pun layak bertanya: jika membaca satu buku saja sulit, bagaimana pejabat bisa mengelola kompleksitas negara selama lima tahun masa jabatan? Mungkinkah kebijakan yang lahir benar-benar visioner?
Menemukan Kembali Buku Lama
Pertanyaan inilah yang membuat saya teringat pada sebuah buku kepemimpinan yang sudah lama saya beli, tepatnya tahun 2008. Setelah bertahun-tahun tersimpan di rak perpustakaan rumah, akhirnya pagi tadi saya menemukannya kembali.
Buku itu berjudul “Pemimpin adalah Pemimpi (Leaders Are Dreamers): 10 Langkah Menjadi Pemimpin Berhasil” karya Prof. Ir. Samuel H. Tirtamihardja, MSc. Buku ini adalah edisi kedua dari Seri Kepemimpinan – 1.
Membuka ulang lembar-lembar buku itu seperti bertemu sahabat lama yang ternyata masih relevan dengan kondisi saat ini.
Mengapa Banyak Pemimpin Gagal?
Buku ini menyoroti penyebab kegagalan pemimpin. Menariknya, bukan karena kurang pintar, tetapi lebih pada sikap dan karakter.
Ada pemimpin yang gagal karena arogansi (merasa paling benar), habitual distrust (selalu curiga), atau excessive caution (takut mengambil keputusan). Ada pula yang terjebak dalam perfectionism dan eagerness to please, yang ironisnya justru melemahkan.
Jika melihat daftar ini, saya merasa seperti sedang bercermin pada fenomena kepemimpinan kita hari ini. Betapa sering publik menemukan gejala-gejala serupa dalam perilaku pejabat.
PRO: Prinsip Pemimpin Profesional
Buku ini mengusulkan prinsip PRO sebagai ciri pemimpin sejati:
- Persistence: pantang menyerah, konsisten, fokus pada tujuan.
- Rewarding: memberi penghargaan, mendorong tim, membangun motivasi.
- Organizing: kreatif dan inovatif dalam mengatur strategi agar rencana bisa diwujudkan.
Tiga hal sederhana ini ternyata sangat fundamental. Bagi saya pribadi, poin organizing sangat menohok. Betapa sering kita punya ide bagus, tapi gagal mengeksekusinya karena tidak terorganisasi dengan baik. Tanpa PRO, kepemimpinan akan mudah goyah dan kehilangan arah.
Relevansi di Masa Kini
Ada kutipan Darwin dalam buku ini yang terasa kontekstual:
“It is not the strongest nor the most intelligent that survives, but the one that is most adaptable to change.”
Pesan itu menegaskan bahwa pemimpin sejati bukanlah yang paling kuat atau paling pintar, melainkan yang mampu beradaptasi. Di tengah perubahan cepat akibat digitalisasi, ketidakpastian global, dan krisis multidimensi, kemampuan adaptasi inilah yang justru jarang terlihat dari para pejabat kita.
Membaca sebagai Cermin Diri
Membaca ulang buku ini membuat saya sadar, buku lama bisa memberi makna baru seiring perjalanan hidup kita. Buku tidak berubah, tapi diri kita yang berubah, sehingga tafsir dan refleksinya semakin dalam.
Dan inilah yang semestinya juga terjadi pada pejabat. Membaca buku bukan sekadar menambah pengetahuan, tetapi juga sarana bercermin, merendahkan hati, dan mengasah kebijakan.
Penutup
Mungkin benar, pejabat memang darurat baca. Karena tanpa literasi, sulit berharap lahirnya kebijakan publik yang berkualitas. Siapa tahu, dari buku-buku kepemimpinan yang nyaris terlupakan, para pejabat justru menemukan kompas untuk memimpin dengan bijak.
Nah, bagaimana menurut teman-teman Kompasianer? Kalau boleh memilih, buku apa yang paling wajib dibaca pejabat kita? Apakah tentang leadership biar tidak asal gaya, tentang public speaking biar tidak asal bunyi, atau tentang kebijakan publik biar tidak asal ide?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI