Ketika Ujian Nasional (UN) resmi dihapus pada 2021, publik menyambut dengan lega. UN dianggap tidak lagi relevan, terlalu menekan siswa, dan sering dipandang sebagai penentu tunggal masa depan. Pemerintah pun menegaskan, seleksi masuk perguruan tinggi maupun jalur lain akan lebih menekankan pada nilai rapor dan asesmen sekolah. Namun, hanya beberapa tahun berselang, sebuah wacana baru mengemuka: Tes Kemampuan Akademik (TKA).
Di atas kertas, TKA disebut tidak wajib diikuti semua siswa. Akan tetapi, seperti diberitakan Kompas.com (27/9/2025), nilai TKA diusulkan menjadi syarat masuk Akmil, Akpol, dan sekolah kedinasan.
Artinya, meskipun tidak diwajibkan, TKA menjadi wajib secara de facto bagi mereka yang bercita-cita menembus gerbang pendidikan tinggi atau jalur karier strategis. Inilah paradoks kebijakan pendidikan kita: opsional di atas kertas, tapi wajib di lapangan.
Tes Kemampuan Akademik (TKA) diperkenalkan oleh Pusat Asesmen Pendidikan sebagai salah satu bentuk tes standar untuk mengukur capaian akademik murid di Indonesia. Secara resmi, TKA tidak diwajibkan. Murid tetap bisa lulus dari satuan pendidikan tanpa harus mengikuti tes ini.
Namun, di balik statusnya yang "tidak wajib", TKA menyimpan dilema baru yang patut dicermati: siapa sebenarnya yang akan untung, dan siapa yang justru dirugikan?
Menurut Pusmendik, tidak ada konsekuensi langsung bagi murid yang tidak mengikuti TKA. Mereka tetap bisa lulus sekolah, mendapatkan ijazah, dan melanjutkan pendidikan. Akan tetapi, hasil TKA disebut dapat dipakai sebagai salah satu syarat atau pertimbangan seleksi masuk ke jenjang berikutnya. Inilah celah yang bisa menimbulkan rasa "terpaksa ikut".
Dalam praktiknya, murid yang memiliki nilai TKA berpotensi lebih diutamakan dibanding mereka yang tidak punya. Artinya, meski tidak diwajibkan, absennya skor TKA bisa menutup peluang dalam seleksi tertentu. Pada titik ini, sifat opsional TKA berubah menjadi opsional yang wajib.
Antara Warisan UN dan Cita-Cita Baru
Secara historis, UN dihapus bukan tanpa alasan. Kritik yang menumpuk sejak lama menyebut UN hanya mengukur aspek kognitif semata, mengabaikan keunikan, minat, dan bakat siswa.
UN juga dituding memperdalam praktik bimbingan belajar (bimbel) karena sekolah maupun orang tua khawatir anak mereka gagal menghadapi “ujian pamungkas” itu.
Dari UN ke TKA: Sejarah yang Berulang?
UN pernah menjadi simbol objektivitas standar akademik nasional. Namun, kritik terhadap UN - mulai dari tekanan psikologis hingga tidak adanya jaminan pemerataan akses- membuat pemerintah akhirnya mencabutnya.
Pasca - UN, seleksi perguruan tinggi kembali bertumpu pada rapor, ujian mandiri, dan nilai ijazah. Masalahnya, penilaian rapor dianggap rawan manipulasi. Istilah “sedekah nilai” muncul, merujuk pada praktik sekolah atau guru yang memberi nilai longgar demi menaikkan peluang siswa diterima.
Kini, dengan munculnya TKA, sebagian publik khawatir pola lama akan terulang. Hanya berganti nama dan format, tetapi esensi sama: tes standar berskala nasional dengan potensi menjadi penentu masa depan.
Bedanya, TKA membawa wajah baru: bukan lagi “penentu kelulusan”, melainkan “gerbang masuk jenjang berikutnya.” Pertanyaannya, jika benar-benar diterapkan, TKA berisiko menjadi semacam “UN jilid baru” atau versi reinkarnasi UN dengan wajah berbeda?
Secara logika kebijakan, kehadiran TKA bisa dipahami. Negara butuh instrumen yang bisa mengukur kualitas akademik siswa dengan standar nasional. Namun, di balik niat baik itu, ada kontradiksi yang justru menimbulkan kebingungan publik.
Paradoks Kebijakan: Opsional yang Memaksa
Pemerintah mengatakan TKA tidak wajib. Namun, ketika skor TKA diwacanakan sebagai syarat masuk PTN, Akmil, Akpol, hingga sekolah kedinasan, sifat “opsional” itu luruh. Murid yang tidak mengikuti TKA praktis kehilangan kesempatan bersaing di jalur-jalur strategis tersebut.
Artinya, pilihan itu semu. Opsional hanya sebatas dokumen kebijakan, tetapi wajib secara praktik. Inilah yang membuat publik meragukan konsistensi pemerintah. Apakah benar ingin memberi fleksibilitas kepada siswa, atau sekadar mengganti nama “UN” dengan wajah baru?
Paradoks ini juga berisiko menciptakan ketidakpastian. Guru, siswa, dan orang tua bingung menentukan strategi belajar. Apakah perlu serius mempersiapkan TKA atau cukup mengandalkan rapor? Kerancuan semacam ini bukan hanya membingungkan, tetapi juga bisa melahirkan kecemasan kolektif di dunia pendidikan.
Analogi paling sederhana: bayangkan sebuah jalan satu arah. Pemerintah bilang, “Jalan ini opsional, tidak semua harus lewat.” Namun, ketika semua jalur utama menuju kota hanya bisa ditempuh melalui jalan satu arah itu, maka apa arti opsional? Ia berubah menjadi wajib secara de facto.
Inilah paradoks kebijakan pendidikan kita: memberi kesan demokratis, tetapi tetap memaksa lewat jalur seragam.
Bentuk Soal dan Jadwal TKA 2025
Sebagai catatan penting, TKA 2025 akan menggunakan soal objektif dengan dua format utama: Pilihan Ganda dan Pilihan Ganda Kompleks. Bentuk soal ini dipilih dengan pertimbangan agar hasil lebih adil sekaligus mampu mengukur kemampuan akademik siswa secara lebih menyeluruh, tidak hanya hafalan.
Seperti diberitakan Kompas.com (13/9/2025), jadwal pelaksanaannya sudah ditetapkan pemerintah. Untuk jenjang SMA/MA/SMK/sederajat, TKA akan berlangsung pada 1-9 November 2025, dengan durasi ujian selama dua hari. Sementara itu, untuk jenjang SD dan SMP, pelaksanaan TKA dijadwalkan pada Maret-April 2026.
Informasi teknis ini mempertegas bahwa TKA bukan lagi sekadar wacana, melainkan program yang sudah memiliki kerangka pelaksanaan jelas. Karena itu, siswa, sekolah, dan orang tua perlu mempersiapkan diri sejak dini, agar tes ini benar-benar menjadi instrumen seleksi yang objektif dan tidak justru menambah beban.
Dimensi Keadilan Sosial
Persoalan terbesar dari sistem tes standar seperti TKA bukan hanya pada filosofinya, tetapi juga pada implikasi keadilan sosial. Akses terhadap materi persiapan TKA, try out, modul intensif, dan bimbingan belajar tidaklah merata.
Siswa di kota besar, terutama dari keluarga menengah ke atas, cenderung lebih siap menghadapi tes semacam ini. Mereka bisa membeli modul terbaru, mengikuti bimbel premium, hingga memanfaatkan platform digital berbayar. Sebaliknya, siswa di desa atau dari keluarga berpenghasilan rendah berisiko tertinggal.
Alih-alih memperkecil jurang, TKA justru berpotensi memperlebar kesenjangan pendidikan. Mereka yang punya sumber daya lebih akan semakin diuntungkan, sementara kelompok lain semakin terpinggirkan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat bahwa masih ada ketimpangan akses internet antara kota dan desa, di mana penetrasi internet di perkotaan mencapai 82%, sedangkan di desa hanya 62%. Padahal, mayoritas persiapan TKA akan berbasis digital. Artinya, siswa desa sudah kalah sebelum bertanding.
Inilah ironi TKA: ia didesain untuk mengurangi manipulasi nilai rapor dan menegakkan objektivitas, tetapi justru bisa menambah ketidakadilan akses. Jika UN dulu dikritik karena “satu ukuran untuk semua”, maka TKA berpotensi mengulang pola yang sama dalam wujud baru.
Antara Standarisasi dan Keragaman
Pemerintah tentu punya alasan. Standar nasional dibutuhkan agar ada tolok ukur obyektif, terutama ketika sistem penilaian rapor sering dicurigai sebagai “sedekah nilai.” TKA bisa menjadi alat pembanding lintas sekolah dan daerah.
Namun, tantangannya adalah bagaimana menyeimbangkan standar nasional dengan keragaman kondisi siswa di Indonesia. Tes berbasis kertas atau komputer yang sama untuk seluruh siswa tidak otomatis adil, justru bisa menyingkirkan mereka yang tidak punya akses memadai.
Di sinilah pentingnya kebijakan afirmatif. Jika TKA tetap dipakai, maka perlu jaminan bahwa semua siswa mendapatkan akses persiapan yang setara, termasuk subsidi untuk siswa kurang mampu. Tes pun harus menekankan aspek nalar, bukan sekadar hafalan.
Refleksi dan Rekomendasi
Paradoks TKA mengajarkan kita bahwa kebijakan pendidikan tidak boleh berhenti pada jargon “opsional.” Harus ada konsistensi antara kata dan praktik di lapangan.
Jika benar ingin menjadikan TKA instrumen seleksi, pemerintah sebaiknya jujur menyatakan TKA memang wajib bagi jalur tertentu, lalu menyiapkan sistem pendukung yang adil.
Ada beberapa rekomendasi yang bisa dipertimbangkan:
1. Pemerataan Akses
Pemerintah memang sudah menyediakan simulasi TKA daring di laman pusmendik.kemdikbud yang bisa diakses siswa dari SD hingga SMA. Namun, perlu dipastikan bahwa semua sekolah terutama di daerah tertinggal memiliki sarana teknologi yang memadai agar fasilitas ini tidak hanya dinikmati sebagian kelompok.
2. Skema Subsidi
Meskipun simulasi tersedia gratis, persiapan intensif tetap membutuhkan bimbingan. Karena itu, penting ada subsidi atau dukungan finansial bagi siswa dari keluarga kurang mampu, baik untuk mengikuti pelatihan daring maupun pembelian perangkat yang menunjang.
3. Orientasi Tes
TKA sebaiknya diarahkan untuk mengukur kemampuan nalar, analisis, dan pemecahan masalah, bukan sekadar hafalan. Simulasi yang ada sudah menjadi langkah awal, tetapi desain tes harus benar-benar relevan dengan tujuan penguatan berpikir kritis.
4. Kombinasi dengan Penilaian Non-Akademik
Seleksi yang hanya berbasis tes kognitif rawan melahirkan bias. Maka, penilaian non-akademik seperti kepemimpinan, keaktifan sosial, dan integritas karakter, perlu dikombinasikan agar seleksi lebih menyeluruh dan adil.
5. Kebijakan Afirmasi Daerah
Pemerintah perlu memberikan kuota afirmasi bagi siswa dari daerah tertinggal, kepulauan, dan perbatasan. Tanpa itu, TKA hanya akan memperlebar jurang antara siswa kota dan desa.
6. Dukungan Psikologis dan Pedagogis
Sekolah harus didorong untuk memberikan pendampingan psikologis agar siswa tidak terjebak pada stres berlebihan menghadapi TKA. Guru juga sebaiknya dilatih agar orientasi pembelajaran tetap menumbuhkan kreativitas, bukan sekadar mengejar skor tes.
Dengan langkah itu, TKA tidak sekadar menjadi pintu seleksi yang diskriminatif, melainkan jembatan menuju masa depan yang adil.
Penutup
Paradoks TKA menegaskan kembali tantangan klasik pendidikan kita: kebijakan yang tampak sederhana di atas kertas, tapi menimbulkan beban kompleks di lapangan. Jika benar-benar diterapkan, TKA berisiko menjadi “UN jilid baru dengan wajah berbeda."
Pendidikan seharusnya membuka jalan, bukan menutup gerbang bagi mereka yang sudah terbatas aksesnya sejak awal.
Kita bukan anti-perubahan, tetapi kepastian harus diutamakan. Tanpa kepastian, perubahan hanya akan melahirkan kebingungan baru, bukan perbaikan yang diharapkan. Salam literasi untuk Indonesia Maju.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI