Inilah paradoks kebijakan pendidikan kita: memberi kesan demokratis, tetapi tetap memaksa lewat jalur seragam.
Bentuk Soal dan Jadwal TKA 2025
Sebagai catatan penting, TKA 2025 akan menggunakan soal objektif dengan dua format utama: Pilihan Ganda dan Pilihan Ganda Kompleks. Bentuk soal ini dipilih dengan pertimbangan agar hasil lebih adil sekaligus mampu mengukur kemampuan akademik siswa secara lebih menyeluruh, tidak hanya hafalan.
Seperti diberitakan Kompas.com (13/9/2025), jadwal pelaksanaannya sudah ditetapkan pemerintah. Untuk jenjang SMA/MA/SMK/sederajat, TKA akan berlangsung pada 1-9 November 2025, dengan durasi ujian selama dua hari. Sementara itu, untuk jenjang SD dan SMP, pelaksanaan TKA dijadwalkan pada Maret-April 2026.
Informasi teknis ini mempertegas bahwa TKA bukan lagi sekadar wacana, melainkan program yang sudah memiliki kerangka pelaksanaan jelas. Karena itu, siswa, sekolah, dan orang tua perlu mempersiapkan diri sejak dini, agar tes ini benar-benar menjadi instrumen seleksi yang objektif dan tidak justru menambah beban.
Dimensi Keadilan Sosial
Persoalan terbesar dari sistem tes standar seperti TKA bukan hanya pada filosofinya, tetapi juga pada implikasi keadilan sosial. Akses terhadap materi persiapan TKA, try out, modul intensif, dan bimbingan belajar tidaklah merata.
Siswa di kota besar, terutama dari keluarga menengah ke atas, cenderung lebih siap menghadapi tes semacam ini. Mereka bisa membeli modul terbaru, mengikuti bimbel premium, hingga memanfaatkan platform digital berbayar. Sebaliknya, siswa di desa atau dari keluarga berpenghasilan rendah berisiko tertinggal.
Alih-alih memperkecil jurang, TKA justru berpotensi memperlebar kesenjangan pendidikan. Mereka yang punya sumber daya lebih akan semakin diuntungkan, sementara kelompok lain semakin terpinggirkan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat bahwa masih ada ketimpangan akses internet antara kota dan desa, di mana penetrasi internet di perkotaan mencapai 82%, sedangkan di desa hanya 62%. Padahal, mayoritas persiapan TKA akan berbasis digital. Artinya, siswa desa sudah kalah sebelum bertanding.
Inilah ironi TKA: ia didesain untuk mengurangi manipulasi nilai rapor dan menegakkan objektivitas, tetapi justru bisa menambah ketidakadilan akses. Jika UN dulu dikritik karena “satu ukuran untuk semua”, maka TKA berpotensi mengulang pola yang sama dalam wujud baru.