Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Paradoks TKA: Wajib Tanpa Wajib dan Bayang-Bayang Ketidakdilan

1 Oktober 2025   05:02 Diperbarui: 1 Oktober 2025   05:02 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi TKA: pintu masa depan yang menghadirkan dilema-antara kesempatan, tekanan, dan rasa keadilan. (Photo by Pixabay: https://www.pexels.com)

Inilah paradoks kebijakan pendidikan kita: memberi kesan demokratis, tetapi tetap memaksa lewat jalur seragam.

Bentuk Soal dan Jadwal TKA 2025

Sebagai catatan penting, TKA 2025 akan menggunakan soal objektif dengan dua format utama: Pilihan Ganda dan Pilihan Ganda Kompleks. Bentuk soal ini dipilih dengan pertimbangan agar hasil lebih adil sekaligus mampu mengukur kemampuan akademik siswa secara lebih menyeluruh, tidak hanya hafalan.

Seperti diberitakan Kompas.com (13/9/2025), jadwal pelaksanaannya sudah ditetapkan pemerintah. Untuk jenjang SMA/MA/SMK/sederajat, TKA akan berlangsung pada 1-9 November 2025, dengan durasi ujian selama dua hari. Sementara itu, untuk jenjang SD dan SMP, pelaksanaan TKA dijadwalkan pada Maret-April 2026.

Informasi teknis ini mempertegas bahwa TKA bukan lagi sekadar wacana, melainkan program yang sudah memiliki kerangka pelaksanaan jelas. Karena itu, siswa, sekolah, dan orang tua perlu mempersiapkan diri sejak dini, agar tes ini benar-benar menjadi instrumen seleksi yang objektif dan tidak justru menambah beban.

Dimensi Keadilan Sosial

Persoalan terbesar dari sistem tes standar seperti TKA bukan hanya pada filosofinya, tetapi juga pada implikasi keadilan sosial. Akses terhadap materi persiapan TKA, try out, modul intensif, dan bimbingan belajar tidaklah merata.

Siswa di kota besar, terutama dari keluarga menengah ke atas, cenderung lebih siap menghadapi tes semacam ini. Mereka bisa membeli modul terbaru, mengikuti bimbel premium, hingga memanfaatkan platform digital berbayar. Sebaliknya, siswa di desa atau dari keluarga berpenghasilan rendah berisiko tertinggal.

Alih-alih memperkecil jurang, TKA justru berpotensi memperlebar kesenjangan pendidikan. Mereka yang punya sumber daya lebih akan semakin diuntungkan, sementara kelompok lain semakin terpinggirkan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat bahwa masih ada ketimpangan akses internet antara kota dan desa, di mana penetrasi internet di perkotaan mencapai 82%, sedangkan di desa hanya 62%. Padahal, mayoritas persiapan TKA akan berbasis digital. Artinya, siswa desa sudah kalah sebelum bertanding.

Inilah ironi TKA: ia didesain untuk mengurangi manipulasi nilai rapor dan menegakkan objektivitas, tetapi justru bisa menambah ketidakadilan akses. Jika UN dulu dikritik karena “satu ukuran untuk semua”, maka TKA berpotensi mengulang pola yang sama dalam wujud baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun