Antara Standarisasi dan Keragaman
Pemerintah tentu punya alasan. Standar nasional dibutuhkan agar ada tolok ukur obyektif, terutama ketika sistem penilaian rapor sering dicurigai sebagai “sedekah nilai.” TKA bisa menjadi alat pembanding lintas sekolah dan daerah.
Namun, tantangannya adalah bagaimana menyeimbangkan standar nasional dengan keragaman kondisi siswa di Indonesia. Tes berbasis kertas atau komputer yang sama untuk seluruh siswa tidak otomatis adil, justru bisa menyingkirkan mereka yang tidak punya akses memadai.
Di sinilah pentingnya kebijakan afirmatif. Jika TKA tetap dipakai, maka perlu jaminan bahwa semua siswa mendapatkan akses persiapan yang setara, termasuk subsidi untuk siswa kurang mampu. Tes pun harus menekankan aspek nalar, bukan sekadar hafalan.
Refleksi dan Rekomendasi
Paradoks TKA mengajarkan kita bahwa kebijakan pendidikan tidak boleh berhenti pada jargon “opsional.” Harus ada konsistensi antara kata dan praktik di lapangan.
Jika benar ingin menjadikan TKA instrumen seleksi, pemerintah sebaiknya jujur menyatakan TKA memang wajib bagi jalur tertentu, lalu menyiapkan sistem pendukung yang adil.
Ada beberapa rekomendasi yang bisa dipertimbangkan:
1. Pemerataan Akses
Pemerintah memang sudah menyediakan simulasi TKA daring di laman pusmendik.kemdikbud yang bisa diakses siswa dari SD hingga SMA. Namun, perlu dipastikan bahwa semua sekolah terutama di daerah tertinggal memiliki sarana teknologi yang memadai agar fasilitas ini tidak hanya dinikmati sebagian kelompok.
2. Skema Subsidi
Meskipun simulasi tersedia gratis, persiapan intensif tetap membutuhkan bimbingan. Karena itu, penting ada subsidi atau dukungan finansial bagi siswa dari keluarga kurang mampu, baik untuk mengikuti pelatihan daring maupun pembelian perangkat yang menunjang.
3. Orientasi Tes
TKA sebaiknya diarahkan untuk mengukur kemampuan nalar, analisis, dan pemecahan masalah, bukan sekadar hafalan. Simulasi yang ada sudah menjadi langkah awal, tetapi desain tes harus benar-benar relevan dengan tujuan penguatan berpikir kritis.