Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Paradoks TKA: Wajib Tanpa Wajib dan Bayang-Bayang Ketidakdilan

1 Oktober 2025   05:02 Diperbarui: 1 Oktober 2025   05:02 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi TKA: pintu masa depan yang menghadirkan dilema-antara kesempatan, tekanan, dan rasa keadilan. (Photo by Pixabay: https://www.pexels.com)

4. Kombinasi dengan Penilaian Non-Akademik
Seleksi yang hanya berbasis tes kognitif rawan melahirkan bias. Maka, penilaian non-akademik seperti kepemimpinan, keaktifan sosial, dan integritas karakter, perlu dikombinasikan agar seleksi lebih menyeluruh dan adil.

5. Kebijakan Afirmasi Daerah
Pemerintah perlu memberikan kuota afirmasi bagi siswa dari daerah tertinggal, kepulauan, dan perbatasan. Tanpa itu, TKA hanya akan memperlebar jurang antara siswa kota dan desa.

6. Dukungan Psikologis dan Pedagogis
Sekolah harus didorong untuk memberikan pendampingan psikologis agar siswa tidak terjebak pada stres berlebihan menghadapi TKA. Guru juga sebaiknya dilatih agar orientasi pembelajaran tetap menumbuhkan kreativitas, bukan sekadar mengejar skor tes.

Dengan langkah itu, TKA tidak sekadar menjadi pintu seleksi yang diskriminatif, melainkan jembatan menuju masa depan yang adil.

Penutup

Paradoks TKA menegaskan kembali tantangan klasik pendidikan kita: kebijakan yang tampak sederhana di atas kertas, tapi menimbulkan beban kompleks di lapangan. Jika benar-benar diterapkan, TKA berisiko menjadi “UN jilid baru dengan wajah berbeda." 

Pendidikan seharusnya membuka jalan, bukan menutup gerbang bagi mereka yang sudah terbatas aksesnya sejak awal.

Kita bukan anti-perubahan, tetapi kepastian harus diutamakan. Tanpa kepastian, perubahan hanya akan melahirkan kebingungan baru, bukan perbaikan yang diharapkan. Salam literasi untuk Indonesia Maju. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun