4. Kombinasi dengan Penilaian Non-Akademik
Seleksi yang hanya berbasis tes kognitif rawan melahirkan bias. Maka, penilaian non-akademik seperti kepemimpinan, keaktifan sosial, dan integritas karakter, perlu dikombinasikan agar seleksi lebih menyeluruh dan adil.
5. Kebijakan Afirmasi Daerah
Pemerintah perlu memberikan kuota afirmasi bagi siswa dari daerah tertinggal, kepulauan, dan perbatasan. Tanpa itu, TKA hanya akan memperlebar jurang antara siswa kota dan desa.
6. Dukungan Psikologis dan Pedagogis
Sekolah harus didorong untuk memberikan pendampingan psikologis agar siswa tidak terjebak pada stres berlebihan menghadapi TKA. Guru juga sebaiknya dilatih agar orientasi pembelajaran tetap menumbuhkan kreativitas, bukan sekadar mengejar skor tes.
Dengan langkah itu, TKA tidak sekadar menjadi pintu seleksi yang diskriminatif, melainkan jembatan menuju masa depan yang adil.
Penutup
Paradoks TKA menegaskan kembali tantangan klasik pendidikan kita: kebijakan yang tampak sederhana di atas kertas, tapi menimbulkan beban kompleks di lapangan. Jika benar-benar diterapkan, TKA berisiko menjadi “UN jilid baru dengan wajah berbeda."Â
Pendidikan seharusnya membuka jalan, bukan menutup gerbang bagi mereka yang sudah terbatas aksesnya sejak awal.
Kita bukan anti-perubahan, tetapi kepastian harus diutamakan. Tanpa kepastian, perubahan hanya akan melahirkan kebingungan baru, bukan perbaikan yang diharapkan. Salam literasi untuk Indonesia Maju.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI