Yang luar biasa justru reaksi publiknya. Di sini kita melihat kontradiksi khas zaman digital: kemampuan menyebarkan informasi semakin cepat, sementara kemampuan memeriksa kebenaran informasi sering tertinggal.
Bagi saya, ada dua hal penting yang harus kita renungkan bersama.
Pertama, pemerintah kota maupun kontraktor perlu paham bahwa dalam era real-time update, persepsi publik adalah bagian dari proyek. Bukan hanya desain, konstruksi, dan anggaran yang harus dikelola, tapi juga narasi di media sosial. Kalau tidak ada strategi komunikasi yang cepat, narasi liar akan mengisi kekosongan.
Kedua, kita sebagai warga juga punya tanggung jawab. Tidak semua kabar harus direspons instan. Ada kalanya, menunggu satu jam untuk mendapatkan klarifikasi resmi justru lebih bijak daripada menjadi "orang pertama" yang membagikan kabar belum tentu benar.
Lumut di JPO Siger Milenial hanyalah contoh kecil, tapi ia menunjukkan masalah yang lebih besar: krisis literasi informasi. Kalau kasus lumut saja bisa bikin heboh, coba bayangkan kalau yang dipermasalahkan adalah isu politik, agama, kesehatan, atau keamanan.
Saya pribadi percaya, kota yang maju bukan hanya soal infrastrukturnya yang megah, tapi juga warganya yang bijak menyaring kabar. Siger Milenial boleh jadi simbol kebanggaan Lampung, tapi kedewasaan digital warganya itulah yang akan menjadi mahkota sesungguhnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI