Hari ini saya didampingi istri sengaja berkeliling di jalur arteri kota Bandar Lampung. Bukan tanpa tujuan, namun untuk melihat secara langsung fenomena Angkutan Kota (Angkot) di kota ini sekaligus mengenang kembali memori masa lalu saat menyusuri jalan-jalan ini dengan Angkot.Â
"Dari Primadona ke penunggu terminal." Begitulah frasa yang dapat saya gunakan untuk menggambarkan nasib Angkot Bandar Lampung di tengah gempuran transportasi modern saat ini.Â
Di awal 2000-an, naik angkot bukan sekadar soal transportasi. Selain masyarakat umum, bagi mahasiswa dan pelajar di Bandar Lampung, angkot adalah bagian dari gaya hidup. Saya sendiri mulai tinggal di Bandar Lampung sejak 2003 dan merupakan bagian dari masyarakat pengguna angkot pada masa itu.Â
Setiap pagi hingga malam, puluhan angkot warna-warni berseliweran membawa penumpang, disertai dentuman musik keras dari speaker rakitan yang memekakkan telinga, namun entah mengapa terasa hal ini menyenangkan, apalagi yang diputar adalah lagu-lagu "gaul".
Angkot-angkot itu tak hanya membawa tubuh, tapi juga suasana. Dari terminal Rajabasa hingga kawasan kota, dari kampus Universitas Lampung (Unila) hingga sekolah SMP-SMA/SMK negeri maupun swasta, angkot menjadi penghubung semangat muda yang ingin cepat sampai tujuan namun tetap bergaya.
Namun kini, suara itu perlahan menghilang. Tidak ada lagi dentuman musik dari angkot. Yang ada hanya deru mesin tua, cat mobil yang banyak terkelupas, kursi sobek, dan sopir yang duduk termenung menanti penumpang yang tak kunjung datang. Sekalipun datang hanya 1 - 2 orang.
Era Keemasan: Sound System dan Gengsi di Jalanan
Di masa jayanya, angkot Bandar Lampung punya ciri khas yang membedakannya dari kota lain yaitu sound system besar. Bukan sekadar radio, tapi speaker aktif yang memuat dentuman bass dan remix lagu dangdut atau hip-hop lokal. Dan masa itu, lagu yang sedang viral seperti lagu Bintang di Surga karya grup band Peterpan sedang naik daun kala itu seolah menjadi lagu wajib di setiap angkot.
Saking semaraknya, banyak angkot memiliki julukan atau nama julukan seperti "Kuntilanak", "Rockstar", hingga "Tornado".
Anak-anak muda saat itu justru memilih angkot yang suaranya paling besar. Semakin kencang, semakin keren. Terkadang, angkot-angkot itu bahkan bersaing satu sama lain dalam hal volume dan modifikasi interior.Â
Bagi mahasiswa, terutama yang baru merantau, naik angkot bersuara besar adalah bagian dari ritus sosial: menunjukkan identitas, mencari hiburan murah, bahkan sarana mencari kenalan baru.
Fenomena ini membentuk ekosistem budaya tersendiri. Tidak hanya sopir, tapi juga penumpang dan bahkan tukang parkir ikut larut dalam romantisme urban tersebut.
BRT: Awal Perubahan yang Tak Selesai
Tidak ada yang kekal di dunia ini, begitu juga dengan masa kejayaan angkot. Segalanya mulai berubah saat pemerintah kota memperkenalkan BRT (Bus Rapid Transit) sekitar tahun 2011.Â
Sebenarnya program ini memiliki tujuan mulia yaitu menyediakan transportasi massal yang lebih nyaman, terjangkau, dan tertib. Rute-rute utama seperti koridor Rajabasa - Tanjungkarang dijadikan jalur BRT. Angkot dialihkan ke rute-rute pendukung (feeder).
Secara teori, ini adalah langkah maju. Tapi dalam praktiknya, banyak masalah muncul: jumlah armada terbatas, jadwal tidak konsisten, halte yang minim, dan kurangnya edukasi ke masyarakat. Dalam waktu tak lama, BRT kesulitan bersaing, terutama setelah munculnya ojek online seperti Gojek dan Grab.
Sementara itu, sopir angkot mulai kehilangan rute, kehilangan penumpang, dan akhirnya kehilangan penghasilan. Seringkali mereka harus 'main petak umpet' dengan petugas ketika mereka mencari penumpang di jalur arteri, jalur yang dilarang dilewati angkot oleh pemerintah.Â
Tersisih dan Terpinggirkan, Suara yang Hilang di Tengah Kota
Hari ini, angkot masih ada. Namun keberadaannya lebih mirip bayangan masa lalu. Banyak angkot tampak tua, rusak, bahkan beberapa berkarat dan nyaris tak layak jalan. Di pinggiran pasar dan terminal kecil, sopir angkot tampak duduk bersandar di pintu mobil, menunggu penumpang yang entah kapan datang.
Beberapa rute yang dulu ramai seperti Kampus - Tanjungkarang, Way Kandis - Teluk, kini sepi. Bahkan banyak anak sekolah dan mahasiswa pun beralih ke ojek online yang dianggap lebih cepat, nyaman, dan bisa dipesan dari rumah.
Situasi ini membawa dampak besar, bukan hanya pada individu sopir, tapi juga pada kehidupan keluarganya. Dengan pendapatan yang menurun drastis, banyak sopir angkot kesulitan menyekolahkan anak, membayar sewa rumah, atau sekadar membeli bahan bakar harian. Mereka terjebak dalam situasi "hidup segan, mati tak bisa": tidak bisa bertahan, tapi juga tak punya pilihan lain.
Dimensi Sosial, Modernisasi yang Tidak Inklusif
Jika kita melihat lebih dalam, nasib angkot di Bandar Lampung adalah cermin dari bagaimana kebijakan transportasi sering kali gagal memperhitungkan aspek sosial secara utuh.Â
Modernisasi sering diartikan sebagai penggantian, bukan pendampingan. Maka yang lama dipaksa untuk menyingkir, tanpa disiapkan ruang transisi yang layak.
Angkot memang punya banyak kelemahan: tidak tertib, tidak ramah lingkungan, kadang membahayakan. Tapi mereka juga punya nilai sosial: aksesibilitas ke gang-gang sempit, fleksibilitas waktu, dan kedekatan emosional antara sopir dan penumpang.
Ketika BRT gagal dan ojek online merajalela, angkot tidak serta-merta kembali berjaya. Justru mereka makin tenggelam karena tidak mampu mengikuti pola digitalisasi. Sopir angkot yang rata-rata berusia di atas 40 tahun tak akrab dengan aplikasi dan sistem online. Mereka kalah sebelum bertarung.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Tentu tidak bijak jika kita hanya menyalahkan waktu. Setiap era membawa tantangan. Tapi kota yang bijak adalah kota yang menyiapkan semua warganya untuk menghadapi perubahan.
Pemerintah daerah dalam hal ini Kota Bandar Lampung bisa memulai dengan beberapa langkah konkret:
- Revitalisasi angkot menjadi angkot digital (seperti program JakLingko di Jakarta)
- Subsidi BBM atau penggantian unit bagi sopir yang masih aktif
- Pelatihan digital dan integrasi aplikasi pemesanan sederhana untuk sopir
- Penataan ulang rute feeder dengan insentif yang realistis
Tapi tentu saja, semua ini hanya mungkin jika ada niat politik dan kemauan sosial. Jika tidak, angkot akan terus menjadi peninggalan sejarah yang perlahan-lahan mati di jalanan kota.
Penutup: Suara yang Tak Lagi Terdengar
Kini, ada ironi yang tak bisa diabaikan: dulu mereka diminta menurunkan volume karena dianggap bising. Hari ini, mereka sepi karena tak lagi terdengar.
Di pinggiran kota, di terminal yang mulai kosong, di halte yang ditinggalkan, para sopir angkot tetap menunggu. Bukan hanya menunggu penumpang, tapi juga menunggu pengakuan: bahwa mereka pernah berjasa, dan bahwa mereka layak mendapat kesempatan kedua.
Mereka bukan sekadar pengemudi kendaraan tua. Mereka adalah penjaga denyut sosial kota, saksi bisu perubahan zaman, dan pengingat bahwa kemajuan tanpa inklusi hanya akan meninggalkan luka-luka di sepanjang jalan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI