Mengemas Anak, Bukan Memanjakan: Refleksi Hari Anak Nasional dan Mimpi Emas 2045
"Setiap anak adalah kertas putih. Namun jika sekolah dan masyarakat hanya menaburkan bubuk manis di atasnya, bukan tinta karakter, maka bangsa ini akan kehilangan arah ketika tinta sejarah menuntut mereka menulis babak baru."
Di Indonesia, setiap tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional, momen yang sering kita rayakan dengan senyum, lomba, senam bersama, atau ucapan manis bertabur doa. Namun, tahun demi tahun, yang luput dari ingatan publik adalah: apa sebenarnya makna ‘anak-anak’ dalam peta besar Indonesia Emas 2045?
Anak-anak hari ini adalah pemimpin, inovator, dan penentu nasib negeri dalam dua dekade ke depan. Tapi sayangnya, sistem pendidikan dan lingkungan sosial kita masih lebih sibuk memanjakan daripada mengemas anak-anak menjadi manusia tangguh.
Sekolah Bukan Mall Edukasi
Banyak sekolah saat ini terjebak pada layanan beraroma "memanjakan", bukan "mempersiapkan". Sekolah menjadi seperti mall: ber-AC, ada arena bermain, pelajaran dibuat se-instagramable mungkin, tugas disederhanakan agar anak tidak stres, bahkan PR dihapus agar tidak memberatkan.
Tentu, pendekatan ramah anak adalah keniscayaan. Namun terlalu ramah tanpa tantangan adalah jebakan halus. Anak yang tak dibiasakan menghadapi kesulitan akan tumbuh rapuh ketika kehidupan memanggilnya untuk berjuang.
Padahal, sekolah seharusnya menjadi miniatur kehidupan. Tempat anak belajar menghadapi kegagalan, menghormati proses, dan menempa diri dalam tekanan yang proporsional.
Kurikulum Merdeka, Tapi Jangan Membebaskan Diri dari Tanggung Jawab
Kita patut bersyukur bahwa Indonesia memiliki Kurikulum Merdeka. Namun, jangan sampai "merdeka belajar" disalahartikan jadi "bebas sesuka hati". Banyak guru akhirnya menghindari tantangan akademik karena khawatir dibilang tidak ramah. Banyak orang tua menuntut agar anaknya selalu jadi juara tanpa gagal, tanpa terlambat, tanpa salah.
Ingat: anak yang tidak pernah dikecewakan, tidak pernah benar-benar belajar bangkit.