Rajabasa Sepi, Apakah Kita Masih Butuh Terminal?
Saya masih ingat, sekitar tahun 1998. Sebelum tragedi '98 terjadi.
Kala itu, saya masih sebagai seorang siswa SMA dari kampung kecil di ujung kabupaten Lampung Tengah. Perjalanan ke Bandar Lampung saat itu seperti ekspedisi ke dunia yang asing, menempuh lebih dari 130 kilometer dengan bus tua, hanya berbekal tekad dan alamat calon donatur yang katanya bisa membantuku kuliah ke Jawa.
Sesampainya di Terminal Rajabasa, bukannya merasa lega, aku malah disergap rasa takut karena sudah mendengar cerita-cerita tentang sangarnya Terminal Rajabasa ini. Dan benar saja, tidak lama berselang bus tiba di terminal, seorang pedagang asongan tiba-tiba mendekat, menawarkan novel bajakan. Saat saya menolak karena memang tak punya uang lebih dia langsung memaki keras, kasar, dan mengagetkan.
Saya hanya diam. Tidak tahu harus berbuat apa. Orang lain pun terdiam. Tidak mau ikut campur ambil resiko.
Yang saya rasakan bahwa saya hanya ingin segera pergi dari tempat itu, dari aura bising dan wajah-wajah sangar penuh ancaman. Tapi tidak bisa. Terminal Rajabasa adalah gerbang satu-satunya yang harus kulewati.
Kala itu, terminal ini sudah lama menyandang reputasi “sangar”. Cerita tentang preman, calo, pencopet, dan tindak kejahatan lain menyebar ke mana-mana. Bahkan sampai luar Pulau Sumatera. Penumpang dari luar daerah sudah mulai gelisah begitu busnya mendekati Rajabasa. Begitulah cerita cari teman-teman dari luar Lampung, dan bus nya harus mampir ke terminal Rajabasa.
Namun, itu dulu. Sekarang, tempat itu seperti kota hantu, mati perlahan.
Terminal yang Mati Perlahan
Terminal Rajabasa adalah terminal penumpang tipe A yang merupakan salah satu terminal terbesar dan tersibuk di Pulau Sumatera. Terminal induk ini memberikan layanan transportasi darat dari Bandarlampung dengan kota-kota di Sumatera, Pulau Jawa, Bali hingga Lombok .