Di sisi lain, produk turunan seperti tepung singkong belum sepenuhnya diterima pasar karena kalah bersaing dengan tepung terigu impor yang lebih umum digunakan dalam industri pangan. Dalam situasi inilah, tiwul muncul sebagai peluang segar. Mengolah singkong menjadi tiwul bukan hanya menambah nilai jual, tetapi juga membuka pasar baru yang lebih kreatif dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat modern.
Sebagai bentuk diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal, tiwul dapat diolah menjadi berbagai variasi: tiwul instan, tiwul kekinian dengan topping modern, hingga camilan sehat rendah gula. Inovasi ini membuka ruang pemasaran yang lebih luas- bukan hanya untuk konsumen tradisional, tetapi juga generasi urban yang mulai sadar pentingnya makanan sehat dan lokal.Â
Ketika tiwul dikemas dengan baik dan diposisikan sebagai produk bernilai tambah, maka ia tak hanya menyelamatkan singkong dari kebuntuan pasar, tapi juga mengangkat martabat pangan lokal di tengah dominasi produk impor.
Tiwul dan Kesehatan
Dari sisi kesehatan, tiwul memiliki indeks glikemik (IG) yang lebih rendah dibandingkan nasi putih, yaitu sekitar 54–60, sementara nasi putih bisa mencapai 70–80. Artinya, tiwul tidak menyebabkan lonjakan gula darah secara drastis, sehingga aman dan direkomendasikan untuk penderita diabetes melitus tipe 2. Selain itu, tiwul kaya akan serat pangan, zat besi, kalsium, dan mengandung resistant starch-pati yang sulit dicerna dan bermanfaat bagi bakteri baik di usus (prebiotik alami).
Tiwul dan Ketokohan Jenderal Sudirman
Menurut berbagai sumber sejarah, Jenderal Sudirman memang dikenal hidup sangat sederhana dan pernah mengonsumsi tiwul- makanan tradisional berbahan dasar singkong yang dikukus dan dikeringkan.
Selama masa perjuangan gerilya melawan Belanda, terutama ketika beliau bergerilya dalam kondisi sakit, makanan seperti tiwul, gaplek, dan ubi menjadi makanan pokok karena ketersediaan beras sangat terbatas. Tiwul menjadi alternatif pengganti nasi yang mudah diperoleh di pedesaan dan cukup mengenyangkan.
Jadi, ya, sangat mungkin dan bahkan hampir pasti bahwa Jenderal Sudirman makan tiwul sebagai bagian dari pola makan sehari-hari pada masa perjuangan. Hal ini sejalan dengan gaya hidup beliau yang sangat bersahaja dan dekat dengan rakyat kecil.
Pesan moralnya adalah Kesederhanaan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang membentuk karakter pemimpin sejati.
Jenderal Sudirman mengajarkan bahwa perjuangan besar tidak membutuhkan kemewahan, melainkan keteguhan hati dan kemampuan beradaptasi dengan keadaan.Â