Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Negeri 1001 Kondangan - Seri Reflektif tentang Budaya Sosial Kita

23 Juni 2025   18:08 Diperbarui: 23 Juni 2025   18:15 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kondangan bisa jadi pengganggu produktivitas. Banyak guru, petani, pegawai, bahkan wirausaha kecil yang harus cuti, izin, atau kehilangan penghasilan harian demi membantu hajatan orang lain.

Ironisnya, kalau mereka sendiri nanti menikah, mereka pun butuh orang-orang yang "mengorbankan diri" yang sama. Balik lagi: ekonomi kondangan itu seperti siklus hutang tak kasat mata.

Ekonomi Kondangan: Siklus yang Tak Bisa Diabaikan

Kondangan memutar uang. Itu jelas. Vendor katering, sewa kursi, sewa sound system, penyanyi, MC, tukang parkir, penjual bunga plastik, sampai petani pisang yang daunnya dipakai bungkus nasi - semuanya kebagian.

Tapi di balik perputaran itu, ada banyak tekanan ekonomi diam-diam:

  • Orang memaksakan pesta mewah agar "setara" dengan saudara atau tetangga.
  • Tamu-tamu kebingungan: kasih amplop berapa ya? Kok makin lama makin mahal?
  • Warga yang sehari-hari hemat, bisa habis uang bensin, pulsa, bahkan cicilan... demi kondangan.

Refleksi: Ya, Beginilah Hidup Bersosial di Negeri Kita

Sebagai refleksi, ini bukan keluhan. Ini juga bukan seruan untuk mengurangi kondangan atau membatasi undangan. Justru sebaliknya -ini adalah ajakan dan pengingat bahwa kehidupan sosial kita memang dirajut dari kehadiran-kehadiran kecil yang tulus. Termasuk ketika kita melangkah ke sebuah acara hajatan, walau kaki pegal dan dompet menipis.

Karena kita tidak hidup sendirian. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi gotong royong dan kebersamaan, kondangan adalah salah satu cara paling nyata untuk merawat hubungan - dengan hadir, dengan senyum, dengan sekadar "maturnuwun wis diundang" (terima kasih sudah diundang).

Jadi bukan soal amplopnya, bukan soal lauknya. Tapi tentang menghargai peristiwa orang lain seolah itu peristiwa kita juga. Dan jika suatu hari nanti kita menggelar acara serupa, kita pun akan tahu rasanya: senang luar biasa ketika yang datang bukan hanya kerabat, tapi juga sahabat masa kecil, tetangga yang jauh, atau teman yang dulu pernah kita bantu.

Capek? Ya. Ribet? Kadang. Tapi bukankah memang begitu cara kita mencintai dalam budaya ini?

Maka kalau besok kondangan lagi, mari kita melangkah tidak karena terpaksa, tapi karena sadar: ini bagian dari hidup sebagai manusia sosial - yang saling sapa, saling bantu, saling hadir. Inilah salah satu kekayaan budaya di negeri kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun