Kondangan bisa jadi pengganggu produktivitas. Banyak guru, petani, pegawai, bahkan wirausaha kecil yang harus cuti, izin, atau kehilangan penghasilan harian demi membantu hajatan orang lain.
Ironisnya, kalau mereka sendiri nanti menikah, mereka pun butuh orang-orang yang "mengorbankan diri" yang sama. Balik lagi: ekonomi kondangan itu seperti siklus hutang tak kasat mata.
Ekonomi Kondangan: Siklus yang Tak Bisa Diabaikan
Kondangan memutar uang. Itu jelas. Vendor katering, sewa kursi, sewa sound system, penyanyi, MC, tukang parkir, penjual bunga plastik, sampai petani pisang yang daunnya dipakai bungkus nasi - semuanya kebagian.
Tapi di balik perputaran itu, ada banyak tekanan ekonomi diam-diam:
- Orang memaksakan pesta mewah agar "setara" dengan saudara atau tetangga.
- Tamu-tamu kebingungan: kasih amplop berapa ya? Kok makin lama makin mahal?
- Warga yang sehari-hari hemat, bisa habis uang bensin, pulsa, bahkan cicilan... demi kondangan.
Refleksi: Ya, Beginilah Hidup Bersosial di Negeri Kita
Sebagai refleksi, ini bukan keluhan. Ini juga bukan seruan untuk mengurangi kondangan atau membatasi undangan. Justru sebaliknya -ini adalah ajakan dan pengingat bahwa kehidupan sosial kita memang dirajut dari kehadiran-kehadiran kecil yang tulus. Termasuk ketika kita melangkah ke sebuah acara hajatan, walau kaki pegal dan dompet menipis.
Karena kita tidak hidup sendirian. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi gotong royong dan kebersamaan, kondangan adalah salah satu cara paling nyata untuk merawat hubungan - dengan hadir, dengan senyum, dengan sekadar "maturnuwun wis diundang" (terima kasih sudah diundang).
Jadi bukan soal amplopnya, bukan soal lauknya. Tapi tentang menghargai peristiwa orang lain seolah itu peristiwa kita juga. Dan jika suatu hari nanti kita menggelar acara serupa, kita pun akan tahu rasanya: senang luar biasa ketika yang datang bukan hanya kerabat, tapi juga sahabat masa kecil, tetangga yang jauh, atau teman yang dulu pernah kita bantu.
Capek? Ya. Ribet? Kadang. Tapi bukankah memang begitu cara kita mencintai dalam budaya ini?
Maka kalau besok kondangan lagi, mari kita melangkah tidak karena terpaksa, tapi karena sadar: ini bagian dari hidup sebagai manusia sosial - yang saling sapa, saling bantu, saling hadir. Inilah salah satu kekayaan budaya di negeri kita.