Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Negeri 1001 Kondangan - Seri Reflektif tentang Budaya Sosial Kita

23 Juni 2025   18:08 Diperbarui: 23 Juni 2025   18:15 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dekorasi Pesta Penikahan. Sumber: Dok. Pribadi

Seri 1: Negeri Kondangan - Ketika Hidup Kita Diatur oleh Undangan  

Di dunia yang serba sibuk, ada satu jeda yang tetap kita beri ruang: kondangan.
Ia datang lewat selembar kertas, pesan singkat, atau kunjungan langsung - tapi maknanya jauh lebih dalam dari sekadar ajakan makan di gedung resepsi.

Kondangan adalah lebih dari sekadar datang ke pesta. Ia adalah ritus sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi, tempat kita belajar hadir, menghormati, dan berbagi. Di balik senyum pengantin dan denting sendok di prasmanan, terselip makna mendalam: tentang hubungan, tentang timbal balik, dan tentang bagaimana kita hidup bersama.

Kondangan adalah bentuk cinta dalam budaya kita - cinta yang datang dengan baju rapi, amplop kecil, dan waktu yang disisihkan.

Ia bisa melelahkan. Bisa menyita waktu dan uang. Tapi juga bisa menghangatkan hati. Sebab ketika kita datang ke kondangan, sejatinya kita berkata:

"Aku turut bahagia atas hidupmu. Dan aku hadir, karena kamu penting."

Kondangan adalah ritual diam-diam yang menyatukan kita sebagai manusia.
Ketika seseorang menikah, kelahiran cinta mereka seolah menjadi milik bersama. Kita diminta hadir, bukan hanya sebagai tamu, tapi sebagai saksi: bahwa dua kehidupan bertaut dan masyarakat sekitarnya turut bersyukur.

"Hidup tidak bisa dijalani sendirian. Dan kebahagiaan, betapapun personalnya, selalu membutuhkan orang lain untuk jadi lengkap."

Lalu datanglah kita - kadang dengan senyum ikhlas, kadang dengan lelah yang tersembunyi. Tapi tetap datang.
Karena inilah wajah kehidupan sosial kita yang sesungguhnya: hadir, bahkan saat tak sempat. Memberi, bahkan saat tak banyak.

Inilah awal kisah tentang sebuah negeri yang tidak pernah kehabisan undangan, dan tidak pernah berhenti melangkah:
Negeri Kondangan.

Di kota, kondangan jadi rutinitas. Di desa, kondangan adalah kehormatan. Di antara keduanya, banyak orang kelelahan tapi tetap melangkah... karena punjungan.

Satu Hari, Lima Tempat. Selamat Datang di Indonesia.

Ini bukan mitos. Banyak orang mengalami fase hidup di mana tiap akhir pekan adalah maraton kondangan. Dari pagi sampai malam, dari gedung ke tenda, dari pelaminan ke prasmanan. Belum sempat mencerna menu sate di kondangan pertama, sudah harus siap smile lagi di kondangan kedua. Baju belum sempat kering dari peluh, sudah harus salaman lagi di tempat ketiga.

Rekor pribadi saya? Lima kondangan dalam satu hari. Tanpa tim medis.

Mungkin kita sudah lupa: kapan terakhir kali kita ikut acara bukan karena sungkan. Karena di balik senyum lelah itu, banyak kepala yang pusing tujuh keliling-bukan karena cinta, tapi karena amplop dan bahan bakar kendaraan.

Kondangan Sebagai Beban Sosial

Fenomena ini bukan cuma soal repot. Di banyak kalangan urban, kondangan kini menjelma jadi "utang sosial" yang harus dibayar dengan presisi. Pernah nggak, kamu datang bukan karena pengen, tapi karena: "Eh, dia dulu dateng lho ke acara saya. Masak saya nggak?" Dan kondangan tidak terbatas hanya pada pesta pernikahan, tapi juga khitanan, pemberian nama bayi, dan sejenisnya.

Siklusnya mirip asuransi informal. Kita setor sekarang, berharap nanti dapat klaim balik. Tapi bedanya, ini tidak dijamin lembaga keuangan- tapi oleh rasa sungkan dan penghormatan.

Di desa, bahkan lebih "ngikat". Kalau sudah di-punjung (datang langsung menyampaikan undangan dalam bentuk nasi dan lauk), maka undangan itu bukan sekadar ajakan. Ia adalah perintah budaya. Tidak datang? Siap-siap dianggap tidak tahu adat, tidak tahu malu.

Rewang Sampai Lupa Hidup

Dan jangan lupakan kaum "rewangan". Mereka adalah aktor penting dalam sebuah pesta. Di banyak tempat, terutama luar kota dan desa, rewang itu bukan pilihan. Itu peran. Sebuah panggilan jiwa. Mereka masak, angkut kursi, potong ayam, pasang tenda - semua dikerjakan bukan karena dibayar, tapi karena itulah bentuk cinta sosial versi lokal.

Tapi apa kabarnya kerjaan utama mereka? Terkadang berantakan.

Kondangan bisa jadi pengganggu produktivitas. Banyak guru, petani, pegawai, bahkan wirausaha kecil yang harus cuti, izin, atau kehilangan penghasilan harian demi membantu hajatan orang lain.

Ironisnya, kalau mereka sendiri nanti menikah, mereka pun butuh orang-orang yang "mengorbankan diri" yang sama. Balik lagi: ekonomi kondangan itu seperti siklus hutang tak kasat mata.

Ekonomi Kondangan: Siklus yang Tak Bisa Diabaikan

Kondangan memutar uang. Itu jelas. Vendor katering, sewa kursi, sewa sound system, penyanyi, MC, tukang parkir, penjual bunga plastik, sampai petani pisang yang daunnya dipakai bungkus nasi - semuanya kebagian.

Tapi di balik perputaran itu, ada banyak tekanan ekonomi diam-diam:

  • Orang memaksakan pesta mewah agar "setara" dengan saudara atau tetangga.
  • Tamu-tamu kebingungan: kasih amplop berapa ya? Kok makin lama makin mahal?
  • Warga yang sehari-hari hemat, bisa habis uang bensin, pulsa, bahkan cicilan... demi kondangan.

Refleksi: Ya, Beginilah Hidup Bersosial di Negeri Kita

Sebagai refleksi, ini bukan keluhan. Ini juga bukan seruan untuk mengurangi kondangan atau membatasi undangan. Justru sebaliknya -ini adalah ajakan dan pengingat bahwa kehidupan sosial kita memang dirajut dari kehadiran-kehadiran kecil yang tulus. Termasuk ketika kita melangkah ke sebuah acara hajatan, walau kaki pegal dan dompet menipis.

Karena kita tidak hidup sendirian. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi gotong royong dan kebersamaan, kondangan adalah salah satu cara paling nyata untuk merawat hubungan - dengan hadir, dengan senyum, dengan sekadar "maturnuwun wis diundang" (terima kasih sudah diundang).

Jadi bukan soal amplopnya, bukan soal lauknya. Tapi tentang menghargai peristiwa orang lain seolah itu peristiwa kita juga. Dan jika suatu hari nanti kita menggelar acara serupa, kita pun akan tahu rasanya: senang luar biasa ketika yang datang bukan hanya kerabat, tapi juga sahabat masa kecil, tetangga yang jauh, atau teman yang dulu pernah kita bantu.

Capek? Ya. Ribet? Kadang. Tapi bukankah memang begitu cara kita mencintai dalam budaya ini?

Maka kalau besok kondangan lagi, mari kita melangkah tidak karena terpaksa, tapi karena sadar: ini bagian dari hidup sebagai manusia sosial - yang saling sapa, saling bantu, saling hadir. Inilah salah satu kekayaan budaya di negeri kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun