Satu Hari, Lima Tempat. Selamat Datang di Indonesia.
Ini bukan mitos. Banyak orang mengalami fase hidup di mana tiap akhir pekan adalah maraton kondangan. Dari pagi sampai malam, dari gedung ke tenda, dari pelaminan ke prasmanan. Belum sempat mencerna menu sate di kondangan pertama, sudah harus siap smile lagi di kondangan kedua. Baju belum sempat kering dari peluh, sudah harus salaman lagi di tempat ketiga.
Rekor pribadi saya? Lima kondangan dalam satu hari. Tanpa tim medis.
Mungkin kita sudah lupa: kapan terakhir kali kita ikut acara bukan karena sungkan. Karena di balik senyum lelah itu, banyak kepala yang pusing tujuh keliling-bukan karena cinta, tapi karena amplop dan bahan bakar kendaraan.
Kondangan Sebagai Beban Sosial
Fenomena ini bukan cuma soal repot. Di banyak kalangan urban, kondangan kini menjelma jadi "utang sosial" yang harus dibayar dengan presisi. Pernah nggak, kamu datang bukan karena pengen, tapi karena: "Eh, dia dulu dateng lho ke acara saya. Masak saya nggak?" Dan kondangan tidak terbatas hanya pada pesta pernikahan, tapi juga khitanan, pemberian nama bayi, dan sejenisnya.
Siklusnya mirip asuransi informal. Kita setor sekarang, berharap nanti dapat klaim balik. Tapi bedanya, ini tidak dijamin lembaga keuangan- tapi oleh rasa sungkan dan penghormatan.
Di desa, bahkan lebih "ngikat". Kalau sudah di-punjung (datang langsung menyampaikan undangan dalam bentuk nasi dan lauk), maka undangan itu bukan sekadar ajakan. Ia adalah perintah budaya. Tidak datang? Siap-siap dianggap tidak tahu adat, tidak tahu malu.
Rewang Sampai Lupa Hidup
Dan jangan lupakan kaum "rewangan". Mereka adalah aktor penting dalam sebuah pesta. Di banyak tempat, terutama luar kota dan desa, rewang itu bukan pilihan. Itu peran. Sebuah panggilan jiwa. Mereka masak, angkut kursi, potong ayam, pasang tenda - semua dikerjakan bukan karena dibayar, tapi karena itulah bentuk cinta sosial versi lokal.
Tapi apa kabarnya kerjaan utama mereka? Terkadang berantakan.