Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Negeri 1001 Kondangan - Seri Reflektif tentang Budaya Sosial Kita

23 Juni 2025   18:08 Diperbarui: 23 Juni 2025   18:15 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dekorasi Pesta Penikahan. Sumber: Dok. Pribadi

Satu Hari, Lima Tempat. Selamat Datang di Indonesia.

Ini bukan mitos. Banyak orang mengalami fase hidup di mana tiap akhir pekan adalah maraton kondangan. Dari pagi sampai malam, dari gedung ke tenda, dari pelaminan ke prasmanan. Belum sempat mencerna menu sate di kondangan pertama, sudah harus siap smile lagi di kondangan kedua. Baju belum sempat kering dari peluh, sudah harus salaman lagi di tempat ketiga.

Rekor pribadi saya? Lima kondangan dalam satu hari. Tanpa tim medis.

Mungkin kita sudah lupa: kapan terakhir kali kita ikut acara bukan karena sungkan. Karena di balik senyum lelah itu, banyak kepala yang pusing tujuh keliling-bukan karena cinta, tapi karena amplop dan bahan bakar kendaraan.

Kondangan Sebagai Beban Sosial

Fenomena ini bukan cuma soal repot. Di banyak kalangan urban, kondangan kini menjelma jadi "utang sosial" yang harus dibayar dengan presisi. Pernah nggak, kamu datang bukan karena pengen, tapi karena: "Eh, dia dulu dateng lho ke acara saya. Masak saya nggak?" Dan kondangan tidak terbatas hanya pada pesta pernikahan, tapi juga khitanan, pemberian nama bayi, dan sejenisnya.

Siklusnya mirip asuransi informal. Kita setor sekarang, berharap nanti dapat klaim balik. Tapi bedanya, ini tidak dijamin lembaga keuangan- tapi oleh rasa sungkan dan penghormatan.

Di desa, bahkan lebih "ngikat". Kalau sudah di-punjung (datang langsung menyampaikan undangan dalam bentuk nasi dan lauk), maka undangan itu bukan sekadar ajakan. Ia adalah perintah budaya. Tidak datang? Siap-siap dianggap tidak tahu adat, tidak tahu malu.

Rewang Sampai Lupa Hidup

Dan jangan lupakan kaum "rewangan". Mereka adalah aktor penting dalam sebuah pesta. Di banyak tempat, terutama luar kota dan desa, rewang itu bukan pilihan. Itu peran. Sebuah panggilan jiwa. Mereka masak, angkut kursi, potong ayam, pasang tenda - semua dikerjakan bukan karena dibayar, tapi karena itulah bentuk cinta sosial versi lokal.

Tapi apa kabarnya kerjaan utama mereka? Terkadang berantakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun