Mohon tunggu...
Nisa Nurazizah
Nisa Nurazizah Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate

sedang belajar menulis✨

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Kupas Isu "The End of Mass Communication?"

31 Maret 2024   07:18 Diperbarui: 31 Maret 2024   07:26 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang penasaran (Sumber: gettyimages.com)

Pernahkah kalian mendengar isu tentang komunikasi massa telah berakhir?

Untuk para Gen Z, apakah saat ini kalian masih mencari informasi melalui media massa? dengan menonton televisi misalnya? Atau mendengar hiburan lewat radio? Membaca koran dan majalah kertas?

Sadar gak sih guys, ada fenomena lucu yang terjadi saat ini, kita kerap menonton program siaran televisi, seperti pertandingan sepak bola atau siaran debat para calon presiden, tetapi melalui aplikasi layanan streaming di mobile phone. Bahkan, saat ini orang membeli televisi bukan lagi untuk menonton program televisi nasional, tetapi untuk berselancar menonton tayangan di Youtube atau Netflix. Benar atau betul?

Jadi, apa benar teori komunikasi massa telah memasuki masa pensiun, dan tidak lagi relevan di era digital saat ini? 

Mari kita bahas di sini...

Sebenarnya, apa sih maksud The end of mass communication?

Pada dasarnya The end of mass communication? merupakan sebuah kajian yang membahas tentang nasib teori komunikasi massa setelah hadirnya new media.

Pada kajian tersebut, beberapa pakar komunikasi mengkritik bahwa "komunikasi massa" tidak lagi menjadi teori atau konsep yang akurat dan komprehensif karena kurang mencakup area new media yang ada saat ini (Steven Chaffee H dan Metzger J: 2001).


Pembahasan terkait The end of mass communication? mulai diangkat ketika new media hadir dan berhasil membawa perubahan besar di kehidupan saat ini. Kehadiran new media ini melahirkan argumen, kritik, dan pertanyaan terkait apakah istilah komunikasi massa akan memasuki "masa pensiun" dan beralih ke istilah komunikasi media atau komunikasi bermedia.

Jadi intinya, The end of mass communication? ini berisi pembahasan terkait komunikasi massa yang belum mampu mencapai spekturm yang lebih luas, yaitu komunikasi new media. 

Ilustrasi Media Digital (Sumber: Kontan.co.id)
Ilustrasi Media Digital (Sumber: Kontan.co.id)

New Media

Adapun new media erat kaitannya dengan perangkat media berjaringan internet atau media berbasis teknologi daring. Flew (2008) mengungkapkan, media baru atau new media digital adalah media yang format kontennya berbentuk multimedia, yaitu berupa gabungan data, teks, suara, gambar, yang disimpan dalam format digital dan disebarluaskan melalui jaringan berbasis kabel optic broadband, satelit dan sistem gelombang mikro. 

Selama ini komunikasi massa (mass communication) diidentikkan dengan "televisi", sementara "video games" dan "website" dianggap sebagai ikon yang mewakili komunikasi media (media communication) (Chaffee and Metzger, 2001: 371- 373). Sebagaimana kita ketahui sejak dulu, ciri-ciri dari komunikasi massa di antaranya:

  • Produksi konten bersifat massal
  • Komunikasi bersifat satu arah
  • Kurangnya kontrol pengguna
  • Sifat audiensnya bersatu/ terpadu mengonsumsi konten yang sama
  • Jumlah saluran media yang terbatas sehingga mudah diidentifikasi, dll.

Namun, kini new media menyebabkan dasar- dasar komunikasi massa ini tidak lagi sama seperti dulu. New media sebagai media baru kontemporer memungkinkan:

  • Pengiriman dan pengambilan informasi dalam jumlah yang lebih besar
  • Komunikasi menjadi interaktif (dua arah)
  • Menempatkan kontrol lebih besar atas pembuatan dan pemilihan konten di tangan penggunanya
  • Memungkinkan pengguna untuk menjadi produsen konten
  • Sifat audiensnya tersebar sehingga sulit diidentifikasi dan dimonitor
  • Tersedianya berbagai macam saluran dan konten yang sangat tidak terbatas, dll.

Dengan demikian, perubahan yang terjadi akibat hadirnya new media membuat kajian komunikasi massa semakin kompleks. Penelitian atau studi tentang khalayak media, konten media dan efek media menjadi lebih sulit karena luasnya media komunikasi dan penyebaran khalayak media massa.

Teori Kultivasi

Chaffee dan Metzger (2001) menunjukkan salah satu contoh perubahan yang terjadi pada kajian komunikasi massa (mass communication) dari segi teori kultivasi. Mereka menjelaskan bahwa teori kultivasi (cultivation theory) didasarkan pada asumsi bahwa audiens menggunakan media tertentu secara kontinyu untuk mengakses informasi. Dalam teori ini, dibatasi pada penonton media televisi yang secara pasif menerima pesan atau konten media.

Jika dilihat dari situasi sekarang, maka akan muncul pertanyaan, apakah orang masih senantiasa menonton televisi secara pasif dan kontinyu sebagaimana yang dilakukan orang- orang di masa awal kemunculan teori ini?

 Sebagaimana kita ketahui, hadirnya internet telah mengubah televisi dari yang hanya beberapa jaringan nasional menjadi sistem dengan ratusan cable channels dan beragam konten. Selain itu, hadirnya internet juga mengubah cara masyarakat dalam mengonsumsi informasi dan hiburan. Maka, menurut beberapa ahli, keragaman saluran dan konten yang tidak terbatas, serta kontrol pengguna yang diberikan oleh teknologi new media menjadi akhir dari teori kultivasi ini (Chaffee and Metzger, 2001 dalam Bryant, 1986).

Ilustrasi orang sedang menonton televisi (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi orang sedang menonton televisi (Sumber: Kompas.com)

Contoh Kasus di Indonesia

Penulis akan membahas contoh kasus di Indonesia yang terkait dengan teori kultivasi. Dalam hal ini, terdapat dua kasus pembunuhan, yang keduanya sama- sama terjadi akibat terpaan tayangan media. Namun perbedaannya terletak di usia pelaku dan jenis media yang digunakan, yaitu sinetron di televisi dan film- film di internet. Dua kasus tersebut sebagai berikut:

1. Seorang istri melakukan pembunuhan terhadap suami dan anak tirinya, serta mengaku bahwa rencana pembunuhan yang ia lakukan terinspirasi dari cerita sinetron (BBC News)

2. Seorang remaja berusia 15 tahun membunuh tetangganya yang berusia lima tahun dan mengaku terinspirasi dari film berbau pembunuhan di Youtube (Inews.id).

Kasus pertama diambil berdasarkan berita online BBC News Indonesia, yang berjudul "Kasus pembunuhan suami dan anak: Bisakah sinetron mendorong tindak kejahatan keji?", yang ditulis oleh Rivan Dwiastono pada 5 September 2019. Kasus ini mengangkat tentang seorang istri yang melakukan pembunuhan terhadap suami dan anak tirinya, serta mengaku bahwa rencana pembunuhan yang ia lakukan terinspirasi dari cerita sinetron.

Dalam teori kultivasi, media massa khususnya televisi dianggap berpengaruh besar atas kecenderungan perilaku khalayaknya. Pengaruh tersebut tidak muncul secepat kilat melainkan membutuhkan waktu dan bersifat kumulatif. Selain itu, perubahan perilaku dapat terjadi jika intensitas dan frekuensi terpaan tayangannya tinggi. Teori ini juga berpendapat bahwa khalayak televisi merupakan individu- individu yang secara pasif menerima informasi dan tidak berinteraksi satu sama lain.

 Namun, di era new media saat ini, internet telah mendominasi kehidupan manusia, perangkat teknologi semakin canggih, media sosial telah menjadi teman akrab, serta saluran dan konten media yang semakin beragam dengan akses yang sangat mudah. Hal ini menggeser keberadaan televisi sebagai media utama masyarakat dalam mengakses informasi dan hiburan.

Kehadiran new media mengubah cara produksi, distribusi, dan konsumsi informasi di masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, Filak (2015) menyebutkan bahwa orientasi untuk mendapatkan informasi mengalami perubahan yang cukup signifikan, khususnya setelah kemunculan perangkat mobile. 

Hal ini menyebabkan penurunan konsumsi berita melalui media massa tradisional seperti televisi dan radio. Masyarakat mulai beralih ke perangkat mobile untuk mendapatkan informasi dan hiburan yang bisa diakses dari pagi hingga malam hari, baik di rumah maupun saat berkegiatan di luar rumah. New media memungkinkan penggunanya mengakses informasi dan berinteraksi dengan format multimedia kapan pun dan di mana pun.

Kemudian kasus kedua, berdasarkan berita online Inews.id berjudul "Remaja Bunuh Anak 5 Tahun di Sawah Besar karena Terinspirasi Film" yang ditulis oleh Okto Rizki Alpino pada 6 Maret 2020. Berita ini sempat viral menggemparkan publik dan menjadi bahan perbincangan hangat dalam waktu yang cukup lama. Berita ini mengungkap kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang remaja berusia 15 tahun terhadap tetangganya yang berusia lima tahun dan mengaku terinspirasi dari film berbau pembunuhan di Youtube.

Dari kasus berita di atas, bisa kita ketahui bahwa di era yang semakin canggih ini, memungkinkan anak di bawah umur dapat dengan mudah mengakses perangkat seluler dan media sosial. Maka, bukan hanya mendampingi anak menonton televisi, kini ada tugas baru bagi para orang tua untuk mengawasi anak- anaknya dalam bermedia digital. Saat ini, masyarakat menghabiskan sebagian besar waktu per harinya untuk mengakses informasi melalui perangkat seluler dibandingkan dengan menonton televisi. Dengan kata lain, intensitas terpaan media baru kontemporer jauh lebih besar dibanding terpaan tayangan televisi.

Dengan demikian, new media membuat kajian efek media menjadi semakin kompleks karena hadirnya beragam saluran dan konten media yang sangat tidak terbatas jumlahnya. Hadirnya new media ini membuat eksistensi teori kultivasi dipertanyakan. Jika kasus pertama bisa dikaji dengan teori kultivasi, yaitu kasus pembunuhan karena terpaan tayangan sinetron di televisi, lalu bagaimana dengan kasus kedua? yaitu pembunuhan yang terinspirasi dari film di internet.

Berdasarkan data di atas, bisa disimpulkan bahwa penggunaan media massa televisi sudah tidak se-masif dulu. Saat ini, khalayak telah beralih dari media televisi menuju media digital. Lebih lanjut, di samping teori-teori tentang penerimaan khalayak, perlu juga perluasan dengan menambah teori baru yang berkaitan dengan pendekatan penggunaan dan kepuasan terhadap media baru (new media), motivasi khalayak dalam menggunakan media, dan lain sebagainya. Hal tersebut dikarenakan, sudah tidak relevan jika masih menganggap khalayak menerima informasi secara pasif. Era new media telah membuat khalayak lebih aktif, baik secara instrumental maupun ritual, dalam memilih dan memproduksi konten untuk diri mereka sendiri (Morris & Ogan, 1996).

Ilustrasi membaca koran digital (Sumber: iStock)
Ilustrasi membaca koran digital (Sumber: iStock)

Jadi, apakah ini akhir dari komunikasi massa? Haruskah kita meninggalkan istilah "komunikasi massa" serta model teoretis yang telah ada? 

Berdasarkan artikel Mass Communication & Society (2001), yang berjudul "The End of Mass Communication?" karya Steven H. Chaffee and Miriam J. Metzger, diuraikan bahwa pada dasarnya kehadiran new media tidak akan menghilangkan kajian komunikasi massa. Namun, untuk menjawab persoalan komunikasi massa yang semakin kompleks, tentu diperlukan perubahan dalam hal pengembangan teori komunikasi massa agar lebih relevan dengan lingkungan new media saat ini. 

Chaffee dan Metzger juga mengungkapkan bahwa sampai kapan pun new media tidak akan bisa "menghilangkan" komunikasi massa.

 Alasan pertama, menurut Turow (1992), media massa adalah bagian dari proses penciptaan makna tentang masyarakat bagi anggota masyarakat. Hal ini menjadikan komunikasi massa memiliki fungsi yang penting dan unik dalam masyarakat, yang tidak mungkin berkurang eksistensinya di masa depan. 

Misalnya, peristiwa yang disajikan media seperti cuplikan perang secara langsung atau olimpiade nasional maupun internasional yang akan terus menyatukan penonton dalam skala massal, seperti yang selalu mereka lakukan (Dayan & Katz, 1992).

Alasan kedua, jumlah audiens untuk new media di berbagai saluran masih akan sangat besar jumlahnya, bahkan jutaan. 

Maka, apa yang telah dipelajari seperti konsep dasar, teknik dan efek dari komunikasi massa, masih akan terus dapat diterapkan di lingkungan media baru. Adapun beberapa teori lama komunikasi massa tentu akan menjadi kurang relevan, sehingga diperlukan pengembangan dan pengkajian kembali untuk diarahkan pada spekturm yang lebih luas, tidak hanya membahas atau mengkaji komunikasi massa tradisional saja, tetapi juga mencakup komunikasi bermedia internet.

Oleh karena itu, dapat kita pahami bahwa telah terjadi perubahan dalam kajian komunikasi massa yang disebabkan oleh kehadiran new media. Dari yang sebelumnya mudah diidentifikasi, dimonitor dan diteliti menggunakan riset kuantitatif, berubah menjadi kajian yang sangat kompleks dan luas cakupannya sehingga diperlukan penelitian yang lebih mendalam dengan riset kualitatif. Dengan demikian, media baru (new media) membawa tantangan bagi model teori sebelumnya, serta perlu untuk mengevaluasi kembali, memperluas, dan bahkan mungkin menggantikannya (Chaffee dan Metzger, 2001: 365--379).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun