Tulisan sederhana ini dirangkai untuk Anda yang sering menulis dan/atau membaca artikel opini.Â
Dalam masyarakat yang beragam seperti Indonesia, berbicara tentang agama selalu ibarat berjalan di atas jembatan rapuh. Satu kata bisa dianggap menyinggung, satu kalimat bisa dibaca berbeda dari maksud semula.
Karena itu, tak jarang sebuah opini publik, yang sebenarnya lahir dari kerinduan akan keadilan, justru dituduh sebagai rasis atau tidak bermutu.
Pertanyaannya, apakah setiap perbedaan pandangan harus langsung dilabeli buruk? Ataukah seharusnya kita belajar menempatkannya dalam bingkai dialektika?
Opini adalah ruang bagi setiap orang untuk menyuarakan gagasan. Ia tidak harus sempurna, dan tidak harus langsung diterima semua orang. Justru esensi opini terletak pada kemampuannya memantik percakapan, menyalakan perdebatan, dan melahirkan refleksi.Â
Tanpa opini yang berbeda, kita hanya akan hidup dalam gema kesepakatan semu, di mana semua orang mengangguk tanpa sungguh berpikir.
Namun, di sisi lain, opini juga tidak kebal kritik. Kritik, bahkan yang tajam sekalipun, adalah bagian alami dari dialektika.
Dialektika sendiri adalah seni berdialog, sebuah proses di mana tesis bertemu antitesis, lalu perlahan menemukan sintesis.
Dengan kata lain, dialektika mengajarkan kita bahwa kebenaran tidak dimiliki oleh satu pihak saja, tetapi lahir dari pertemuan berbagai perspektif.
Masalahnya, di era media sosial, kritik sering kali berubah menjadi serangan personal. Alih-alih berdiskusi, kita lebih mudah memberi label: rasis, intoleran, tidak bermutu. Padahal, memberi label bukanlah jawaban, melainkan jalan pintas untuk menghindari percakapan yang lebih dalam.