Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis

Pemerhati Pendidikan dan Pegiat Literasi Politik Domestik

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bukan di Meja, Mereka Makan di Kolong Jembatan

1 Agustus 2025   19:00 Diperbarui: 3 Agustus 2025   08:04 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kaum keluarga tersisih yang sedang makan sebungkus nasi di kolong jembatan | Gambar: Tuhombowo Wau (olahan)

Di banyak rumah, makan malam adalah peristiwa sederhana yang terasa biasa. Meja makan penuh dengan hidangan: nasi putih hangat mengepul, lauk-pauk beragam, sup sayur, ayam goreng, sambal, kerupuk, mungkin buah sebagai penutup.

Anak-anak duduk sambil bercerita tentang sekolah, orang tua menanggapi dengan senyum, lalu obrolan berkembang: besok mau masak apa, kapan liburan, siapa yang ulang tahun. 

Kadang ada keluhan kecil: sayur terlalu asin, ayam terlalu kering, atau bosan dengan menu itu-itu saja. Sebagian makanan tersisa, masuk ke tong sampah, tanpa banyak dipikirkan.

Begitulah meja makan: hangat, penuh pilihan, dan nyaris selalu tersedia.

Namun, beberapa kilometer dari meja itu, ada "meja makan" lain, jika itu layak disebut meja. Di kolong jembatan, di tempat gelap dan lembab, keluarga-keluarga tersisih mencoba bertahan hidup.

~~~

Malam itu, suara kendaraan menderu dari atas, truk besar dan motor berkejaran. Lantai semen dingin dipakai sebagai alas tidur, ditutup kardus bekas yang lembab. Bau got menyengat, bercampur debu dan sisa sampah dari pasar.

Pak Hasan, seorang pemulung, pulang dengan karung goni di pundaknya. Isinya botol plastik dan kaleng berkarat, dikumpulkan seharian dari tong sampah. Bajunya lusuh, tubuhnya basah oleh keringat dan gerimis. Dari hasil memulung, ia mendapat uang pas-pasan, cukup untuk membeli sebungkus nasi.

Hanya satu bungkus.

Istrinya, Maryam, membuka bungkusan kertas coklat yang lembap. Di dalamnya: nasi dingin, sambal encer, sepotong tempe goreng kecil. Tidak lebih. Mereka punya dua anak: Lila, sembilan tahun, dan Adit, enam tahun.

Lila menatap nasi itu dengan mata berbinar. Ia sudah menahan lapar sejak siang, hanya meneguk air putih dari botol plastik bekas. Adit ikut mendekat, menelan ludah.

Maryam menyuapkan suapan pertama kepada anak-anak. Lila dan Adit makan lahap, seolah itu makanan terlezat di dunia. Maryam tersenyum, pura-pura kenyang, padahal perutnya kosong sejak pagi. Pak Hasan ikut menahan lapar, hanya menatap anak-anaknya makan.

"Bapak nggak makan?" tanya Lila dengan polos.
"Bapak sudah kenyang tadi, Nak," jawabnya, meski suaranya bergetar.

Suapan demi suapan habis. Tinggal sepotong kecil tempe tersisa. Adit menyodorkannya kepada ibunya.
"Ibu makan, biar kuat," katanya.
Maryam menolak, tapi Adit memaksa. Dengan mata berkaca-kaca, Maryam menggigit tempe itu, lebih karena tidak ingin melukai hati anaknya, bukan karena kenyang.

Pak Hasan dan keluarganya tidur di kolong jembatan | Gambar: Tuhombowo Wau (olahan)
Pak Hasan dan keluarganya tidur di kolong jembatan | Gambar: Tuhombowo Wau (olahan)

Setelah itu, anak-anak merebahkan tubuh di atas kardus tipis. Jaket bekas lusuh dijadikan selimut. Hujan turun, menetes dari celah jembatan, membasahi sudut tempat mereka tidur. Lila meringkuk, tubuhnya menggigil.

Sebelum terlelap, ia bertanya lirih, "Bu, besok kita makan apa?"

Maryam tak sanggup menjawab. Pertanyaan itu menggantung di udara, menekan hati mereka.

~~~

Di rumah lain, di saat yang sama, anak-anak menanyakan hal serupa: "Besok masak apa, Bu? Soto atau rendang?" Disambut dengan tawa, dengan kenyang, dengan kepastian.

Sedangkan di bawah jembatan, pertanyaan yang sama berarti sesuatu yang jauh berbeda: "Apakah besok ada makanan atau tidak?"

~~~

Pagi tiba. Di rumah-rumah, meja makan kembali penuh: roti, telur, susu, nasi goreng. Orang tua meneguk kopi hangat sambil membaca berita. Anak-anak sarapan sebelum berangkat sekolah.

Lila dan Adit ikut memulung barang bekas | Gambar: Tuhombowo Wau (olahan)
Lila dan Adit ikut memulung barang bekas | Gambar: Tuhombowo Wau (olahan)

Di bawah jembatan, Lila dan Adit bangun dengan perut kosong. Mereka ikut ayahnya memulung, berjalan di lorong-lorong kota, menunduk mencari botol plastik dan kardus bekas. Tidak ada seragam sekolah, tidak ada buku pelajaran. Yang ada hanya karung besar dan harapan tipis agar hari itu dapat cukup uang untuk sebungkus nasi lagi.

~~~

Inilah kontras yang nyata, yang sering tak terlihat.

Di satu sisi kota, ada keluarga yang berlebihan, sering bingung karena terlalu banyak pilihan makanan, kadang membuang sisa tanpa ragu. Di sisi lain kota, ada keluarga yang hanya punya satu bungkus nasi untuk bertiga.

Di satu sisi, ada obrolan hangat tentang liburan. Di sisi lain, ada tanya lirih tentang apakah bisa makan besok.

Perbedaan itu nyata. Dekat. Dan begitu tajam menusuk hati.

~~~

Itulah sebabnya setiap suapan nasi di meja makan seharusnya membuat siapa pun menunduk syukur. Makanan di piring bukan hal sepele. Ia adalah anugerah yang tidak dimiliki semua orang.

Dan syukur itu mestinya tidak berhenti pada ucapan. Syukur harus mengalir menjadi tindakan. Karena untuk keluarga-keluarga di bawah jembatan, sebungkus nasi bukan sekadar makanan. Itu adalah perpanjangan hidup.

Mereka bukan bayangan. Mereka manusia. Sama seperti siapa pun.

Dan mereka menunggu, bukan sekadar belas kasihan, melainkan tangan yang mau berbagi.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun