Kalau pemerintah masih punya hati, maka inilah saatnya ia mendengar, bukan dengan telinga, tapi dengan nurani.
Di sudut negeri yang jauh dari sorotan kamera, rakyat membayar pajak dengan keringat, sabar dengan derita, dan berharap dengan diam. Tapi berapa lama lagi mereka harus menunggu, sementara setiap roda kendaraan mereka menjerit di atas jalan yang penuh luka?
Ini bukan tentang angka. Ini tentang harga diri. Tentang negara yang harus hadir, bukan lewat slogan, tapi lewat tindakan nyata.
Suara yang Tak Lagi Bisa Dibungkam
Ini adalah sebuah seruan. Sebuah jeritan dari hati nurani warga Kecamatan Kembayan, Kecamatan Bonti, Kecamatan Jangkang (termasuk Desa Balai Sebut), serta desa-desa sepanjang jalur di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, yang saya, sebagai penulis, mencoba menerjemahkan kepedihan dan tuntutan mereka.
Di pojok Indonesia ini, terhampar ironi pahit yang mengguratkan luka mendalam. Bukan di balik hutan belantara yang tak terjamah, melainkan di sepanjang jalur poros utama yang vital bagi aktivitas mereka. Ini adalah kisah tentang bagaimana pajak yang mereka bayar lunas seolah lenyap ditelan lumpur dan debu, meninggalkan mereka terperangkap dalam kondisi yang terasa seperti pengabaian total.
Ketika Keringat Jadi Pajak, Keadilan Tinggal Retorika
"Kami ini bayar pajak, Pak! Pajak bumi kami bayar, pajak kendaraan yang setiap hari rusak di jalan ini pun kami bayar. Tapi apa yang kami dapat? Kubangan dan debu!"
--- Seorang Ibu dari Balai Sebut
Di negara yang bergembar-gembor dengan APBN triliunan rupiah, hasil dari ketaatan warga membayar Pajak Penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Kendaraan Bermotor, hingga Pajak Pertambahan Nilai, masih ada sudut yang tak tersentuh pembangunan layak.