Pajak mereka tidak pernah absen. Tapi kehadiran negara terus absen.
Mereka tidak meminta istana, hanya jalan yang bisa dilalui tanpa harus kehilangan nyawa. Mereka tidak menagih keistimewaan, hanya keadilan yang semestinya lahir dari janji konstitusi.
Setiap lubang di jalan itu adalah cermin dari lubang dalam nurani para pemimpin.
Setiap kubangan di depan rumah mereka adalah genangan air mata dari rakyat yang dikhianati.
Kalau miliaran dana sudah digelontorkan tapi hasilnya nihil, maka yang rusak bukan hanya jalan, tapi sistem.
Dan jika jeritan warga ini terus dibiarkan senyap, maka negara sedang memilih untuk menutup telinga dari suara yang paling jujur: suara dari bawah.
Pemprov Kalimantan Barat, dengarlah ini bukan sebagai aduan, tapi sebagai pengingat keras: bahwa kekuasaan yang abai pada penderitaan rakyat, sedang menggali kubur kehormatannya sendiri.
---
Catatan: Saya tahu persis kondisi jalan ini. Saya sudah beberapa kali ke sana, ke rumah mertua saya di Kecamatan Jangkang. Saya juga pernah tinggal di sana (di Desa Tanggung, Kecamatan Jangkang, Kabupaten Sanggau) selama 7 (tujuh) bulan, saat Covid-19 melanda negeri ini. Sebenarnya bukan cuma akses jalan, tapi banyak hal lain yang masih sangat memprihatinkan. Antara lain akses komunikasi (sinyal tidak ada), listrik "wajib" padam, dan sebagainya. Jadi, tulisan ini bukan khayalan. Ini pengalaman pribadi.
***