Lila menatap nasi itu dengan mata berbinar. Ia sudah menahan lapar sejak siang, hanya meneguk air putih dari botol plastik bekas. Adit ikut mendekat, menelan ludah.
Maryam menyuapkan suapan pertama kepada anak-anak. Lila dan Adit makan lahap, seolah itu makanan terlezat di dunia. Maryam tersenyum, pura-pura kenyang, padahal perutnya kosong sejak pagi. Pak Hasan ikut menahan lapar, hanya menatap anak-anaknya makan.
"Bapak nggak makan?" tanya Lila dengan polos.
"Bapak sudah kenyang tadi, Nak," jawabnya, meski suaranya bergetar.
Suapan demi suapan habis. Tinggal sepotong kecil tempe tersisa. Adit menyodorkannya kepada ibunya.
"Ibu makan, biar kuat," katanya.
Maryam menolak, tapi Adit memaksa. Dengan mata berkaca-kaca, Maryam menggigit tempe itu, lebih karena tidak ingin melukai hati anaknya, bukan karena kenyang.
Setelah itu, anak-anak merebahkan tubuh di atas kardus tipis. Jaket bekas lusuh dijadikan selimut. Hujan turun, menetes dari celah jembatan, membasahi sudut tempat mereka tidur. Lila meringkuk, tubuhnya menggigil.
Sebelum terlelap, ia bertanya lirih, "Bu, besok kita makan apa?"
Maryam tak sanggup menjawab. Pertanyaan itu menggantung di udara, menekan hati mereka.
~~~
Di rumah lain, di saat yang sama, anak-anak menanyakan hal serupa: "Besok masak apa, Bu? Soto atau rendang?" Disambut dengan tawa, dengan kenyang, dengan kepastian.
Sedangkan di bawah jembatan, pertanyaan yang sama berarti sesuatu yang jauh berbeda: "Apakah besok ada makanan atau tidak?"