~~~
Pagi tiba. Di rumah-rumah, meja makan kembali penuh: roti, telur, susu, nasi goreng. Orang tua meneguk kopi hangat sambil membaca berita. Anak-anak sarapan sebelum berangkat sekolah.
Di bawah jembatan, Lila dan Adit bangun dengan perut kosong. Mereka ikut ayahnya memulung, berjalan di lorong-lorong kota, menunduk mencari botol plastik dan kardus bekas. Tidak ada seragam sekolah, tidak ada buku pelajaran. Yang ada hanya karung besar dan harapan tipis agar hari itu dapat cukup uang untuk sebungkus nasi lagi.
~~~
Inilah kontras yang nyata, yang sering tak terlihat.
Di satu sisi kota, ada keluarga yang berlebihan, sering bingung karena terlalu banyak pilihan makanan, kadang membuang sisa tanpa ragu. Di sisi lain kota, ada keluarga yang hanya punya satu bungkus nasi untuk bertiga.
Di satu sisi, ada obrolan hangat tentang liburan. Di sisi lain, ada tanya lirih tentang apakah bisa makan besok.
Perbedaan itu nyata. Dekat. Dan begitu tajam menusuk hati.
~~~
Itulah sebabnya setiap suapan nasi di meja makan seharusnya membuat siapa pun menunduk syukur. Makanan di piring bukan hal sepele. Ia adalah anugerah yang tidak dimiliki semua orang.